Latest News

Monday, March 6, 2017

TENAGA KERJA DAN PENGANGGURAN

TENAGA KERJA DAN PENGANGGURAN

PENDAHULUAN

Sejauh ini kita memperhatikan peranan tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi yang akan mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat pendapatan nasional baru dari segi kuantitas atau jumlah saja. Sementara ini kita beranggapan bahwa kalau jumlah tenaga yang dipakai dalam usaha produksi meningkat, maka jumlah produksi yang bersangkutan juga meningkat. Dengan kata lain, kalau tidak ada peningkatan jumlah tenaga kerja maka jumlah produksi akan tetap. Pernyataan yang demikian ini, tidak dapat seluruhnya dianggap benar, karena walaupun jumlah tenaga kerja itu menjadi lebih baik, maka dapat terjadi bahwa tingkat produksi akan meningkat pula.
Selama kita beranggapan bahwa tingkat produksi hanya tergantung pada jumlah tenaga kerja, berarti kita menganggap bahwa tenaga kerja itu bersifat homogen. Sedangkan pada kenyataannya tenaga kerja itu sangat heterogen baik dilihat dari segi umur, kemampuan kerja,kesehatan, pendidikan, jenis kelamin, keahlian dan sebagainya. Jadi agar analisa kita mengenai peranan tenaga kerja bagi pembangunan ekonomi menjadi lebih teliti dan baik, maka kita harus melihat tenaga kerja ini sebagai faktor produksi yang heterogen. Oleh karena itu dalam merencanakan pertumbuhan ekonomi dalam hubungannya dengan penggunaan tenaga kerja, juga diperlukan adanya perencanaan tenaga kerja (manpower planning) yang tepat. Suatu Negara harus mampu memperkirakan misalnya berapa jumlah tenaga ahli teknik, ahli bangunan, tenaga dokter, tenaga dosen, tenaga guru, tenaga tukang kayu, akuntan, sekertaris, untuk lima sampai sepuluh tahun yang akan datang.
Masalah perencanaan tenaga kerja ini tidak akan dibahas saat ini. Sedangkan masalah bagaimana meningkatkan mutu dan kualitas tenaga kerja ini yang akan dibahas sekarang. Seperti kita ketahui, kalau kita bicara tentang kualitas tenaga kerja, kita berhubungan dengan apa yang kita sebut sebagai “human capital” cirri khusus yang dimiliki oleh faktor produksi ini ialah tidak dapat hilang atau berkurang apabila faktor produksi itu dipakai, dimanfaatkan atau dijual. Dengan semakin sering faktor produksi itu dipakai bukan kadarnya semakin berkurang tetapi justru sebaliknya dan bahkan nilainya menjadi semakin tinggi pula.
Sebelum kita melihat bagaimana meningkatkan kualitas, perlu kita ketahui terlebih dahulu apa yang menjadi tujuan dari faktor produksi tenaga kerja itu. Dalam membahas tenaga kerja tidak pernah lepas dari pengangguran karena keduanya saling berhubungan.
Meningkatnya tingkat pengangguran tidak hanya disebabkan oleh penurunan kesempatan tenaga kerja, namun juga akibat meningkatnya jumlah angkatan kerja. Peningkatan angkatan kerja mengandung makna bahwa pengangguran kadang-kadang bertambah meskipun pada saat yang sama kesempatan kerja juga bertambah. Pembahasan kesempatan kerja dan pengangguran memberikan konsep lain, yaitu penggunaan tenaga kerja penuh (full employment). Penggunaan tenaga kerja penuh tidak berarti pengangguran nol. Dalam perekonomian selalu terdapat orang yang keluar masuk pekerjaan tertentu dan selalu terjadi perubahan dalam kesempatan kerja. Anggota-anggota baru memasuki angkatan kerja, sebagian orang berhenti dari pekerjaan mereka, sementara yang lainnya lagi keluar karena di pecat. Mungkin diperlukan sementara waktu bagi orang-orang untuk mencari pekerjaan baru. Maka, setiap waktu selalu ada pengangguran yang disebabkan karena keluar-masuknya tenaga kerja yang bisa terjadi dalam setiap perekonomian.
Aspek sosial dan politik yang terkandung didalam tingkat pengangguran sungguh besar. Pemerintah di maki bila tingkat pengangguran tinggi dan mendapat pujian bila tingkat tersebut rendah. Sedikit sekali kebijakan makro ekonomi yang direncanakan tanpa mempertimbangkan pengaruh kebijakan tersebut terhadap pengangguran.
Pengangguran mengakibatkan pemborosan ekonomi dan penderitaan manusia. Pemborosan ekonomi sudah jelas. Usaha manusia adalah komoditi perekonomian yang paling tidak tahan lama. Jika suatu perekonomian dalam keadaan penggunaan tenaga kerja penuh, dengan angkatan kerja konstan sebesar 120 juta orang yang ingin bekerja pada tahun1986, maka jasa mereka haruslah dimanfaat kanpada tahun 1986 atau akan terbuang sia-sia. Seandainya saja hanya dari 108 juta orang saja yang dimanfaatkan karena 10 persen dari angkatan kerja tidak digunakan, berarti output potensial dari 12 juta orang telah hilang untuk selamanya. Dalam suatu perekonomian yang outputnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan setiaporang, setiap pemborosan output potensial tidaklah dikendaki dan pemborosan dalam jumlah besar akan bersifat tragis.
Biaya pengangguran manusia juga sudah jelas. Kesulitan dan penderitaan yang berat dapat disebabkan oleh masa pengangguran yang berkepanjangan. Semangat orang bisa hancur karena terlalu lama menginginkan pekerjaan namun tidak mampu memperolehnya. Kliminalitas, perceraian dan kegelisahan social pada umumnya meningkat seiring dengan pengangguran.
Masalah pengangguran, yang menyebabkan tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensinya yang maksimal, adalah masalah pokok makro ekonomi yang paling utama. Untuk mengetahui tingkat pengangguran yang wujud pada suatu waktu tertentu perlulah terlebih dahulu diketahui jumlah tenaga kerja atau angkatan kerja yang ada dalam perekonomian. Jumlah tenaga kerja tidak boleh disamakan dengan jumlah penduduk. Sebagian dari penduduk tidak dapat digolongkan sebagai tenaga kerja karena mereka masih terlalu muda atau sudah terlalu tua untuk dapat bekerjadengan efektif. Golongan penduduk ini tidak termasuk ke dalam angkatan kerja.
Orang yang menganggur di definisikan sebagai orang yang tidak bekerja dan yang (1) secara aktif mencari pekerjaan selama 4 minggu sebelumnya, atau (2) sedang menunggu dipanggil kembali untuk suatu pekerjaan setelah diberhentikan, atau (3) sedang menunggu untuk melapor atas pekerjaan yang baru dalam waktu 4 minggu. Syarat sedang mencari pekerjaan dalam 4 minggu sebelumnya adalah untuk mencoba meyakinkan bahwa orang tersebut secara aktif tertarik pada suatu pekerjaan dan tidak semata-mata mencerminkan keinginan jika suatu pekerjaan kebetulan muncul.
Pengangguran dapat menyebabkan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri dan perselisihan dalam keluarga. Juga para penganggur akan kehilangan kemahiran apabilamenganggur terlalu lam dan ini akan lebih menyulitkan lagi kepada mereka untuk memperoleh pekerjaan. Bagi masyarakat secara keseluruhan pengangguran dapat menimbulkan masalah criminal, mengurangi tingkat kesehatan masyarakat (karena tidak ada uang untuk membeli makan yang cukup).
PEMBAHASAN
Pembangunan ekonomi banyak dipengaruhi oleh hubungan antara mannusia dengan faktor-faktor produksi yang lain dan juga sifat-sifat manusia itu sendiri. Yang kita maksud dengan human resources disini ialah penduduk sebagai suatu keseluruhan. Dari segi penduduk sebagai faktor produksi, maka tidak semua penduduk dapat bertindak sebagai faktor produksi. Hanya penduduk yang berupa tenga kerja (man power) yang dapat dianggap sebagai faktor produksi. Tenaga kerja adalah penduduk pada usia kerja yaitu antara 15 sampai 64 tahun. Penduduk dlam usia kerja ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu angkatan kerja (labor force) dan bukan angkatan kerja.
Yang dimaksud dengan angkatan kerja (labor force) adalah penduduk yang bekerja dan penduduk yang belum bekerja, namun siap untuk bekerja atau sedang mencari pekerjaan pada tingkat upah yang berlaku. Kemudian penduduk yang bekerja adalah mereka yang melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa untuk memperoleh penghasilan, baik bekerja penuh maupun tidak bekerja penuh. Dinegara-negara yan sedang berkembang batas umur angkatan kerja lebih rendah (di Indonesia 10 tahun keatas) daripada di Negara-negara yang telah maju (15 tahun keatas). Demikian pula kuantitas dan kualitas angkatan kerja lebih rendah di Negara-negara sedang berkembang daripada di Negara-negara maju karena sebagian besar penduduk di Negara sedang berkembang berusia muda.
Dibanyak Negara penduduk yang digolongkan sebagai angkatan kerja adalah penduduk yang berumur diantara 15-59 tahun dan dibeberapa Negara meliputi penduduk yang berumur 15-64 tahun. Tetapi tidak semua penduduk yang berada dalam lingkungan umur tersebut dapat dipandang sebagai tenaga kerja. Apabila mereka tidak bekerja dan tidak mencoba untuk mencari pekerjaan maka, walaupun umur mereka adalah dalam lingkungan umur diatas, mereka tidak termasuk dalam golongan angkatan kerja. Golongan masyarakat seperti itu antara lain adalah pelajar sekolah menengah dan sekolah-sekolah lain sebelum tingkat universitas, mahasiswa dan ibu rumah tangga. Dengan demikian, jumlah tenaga kerja atau angkatan kerja pada suatu waktu tertentu adalah banyaknya jumlah penduduk yang berada dalam lingkungan umur diatas yang bekerja atau sedang mencari pekerjaan.
Tujuan utama faktor produksi ini mau dikerjakan adalah guna mendapatkan balas jasa yang disebut upah dan gaji sebagai harga dari tenaga kerja tersebut. Dengan kata lain penawaran tenaga kerja akan tergantung pada tinggi rendahnya tingkat upah. Semakin tinggi tingkat upah di pasar tenaga kerja akan semakin tinggi pula jumlah penawaran tenaga kerja dan demikian sebaliknya.
Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa hubungan tingkat upah dengan penawaran tenaga kerja perseorangan berbeda dengan hubungan antara tingkat upah dan penawaran tenaga kerja secara keseluruhan. Hubungan antara tingkat upah dan penawaran tenaga kerja perorangan seiring ditunjukan oleh kurva penawaran tenaga kerja yang berbelok ke belakang (back ward bending supply curve). Ini berarti bahwa setelah tingkat upah tertentu, dengan naiknya tingkat upah, tidak akan mendorongseseorang untuk bekerja lebih lama atau lebih giat karena pada tingkat pendapatan yan relatif tinggi orang ingin hidup lebih santai.
Tetapi untuk perekonomian sebagai keseluruhan, semakin tingginya tingkat upah masih akan mendorong semakin banyak orang untuk masuk ke pasar tenaga kerja. Orang-orang yang tadinya tidak mau bekerja pada tingkat upah yang rendah akan bersdia untuk bekerja dan ikut mencari pekerjaan pada tingkat upah yang lebih tinggi. Dilain pihak dengan perkembangannya peradaban nasional, maka peranan tingkat upah yang rendah akan bersedia untuk bekerja dan ikut mencari pekerjaan pada tingkat upah yang lebih tinggi. Maka peranan tingkat upah dalam mempengaruhi kemauan orang untuk bekerja masih cukup besar, terutama dengan adanya “efek pamer” maka orang akan tidak merasa bahwa kebutuhannya telah terpuaskan seluruhnya. Dengan dipenuhinya suatu kebutuhan, maka kebutuhan baru akan muncul lagi. Begitu seterusnya, sehingga dapat dikatakan bahwa kebutuhan itu memang tidak terbatas jumlahnya.
Apa yang telah diuraikan diatas adalah dalam hubungannya dengan usaha kita untuk meningkatkan pendapatkan pendapatan nasional lewat peningkatan jumlah tenaga kerja yang bersedia untuk diikutkan dalam kegiatan produksi.peningkatan tersedianya jumlah tenaga kerja dalam bagi proses produksi itu dapat terlihat baik dari jumlah tenaga kerja dalam arti orang ataupun dalam jumlah hari kerja orang (Mondays) maupun jam kerja orang (man hours). Jumlah hari kerja orang adalah jumlah masing-masing hari kerja dari setiap orang yang bekerja. Kalau untuk menyelesaikan suatu pekerjaan diperlukan 3 orang, A, B dan C; dan A bekerja 5 hari, B 4 hari dan C 6 hari, maka untuk pekerjaan itu diperlukan 15 hari orang. Dengan kata lain pekerjaan itu dapat diselesaikan oleh 1 orang dalam 15 hari atau oleh 15 orang dalam 1 hari atau 3 oran dalam 5 hari. Dapat saja terjadi jumlah orang yang bekerja tetap, tetapi jumlah hari kerja orang atau jam kerja orangnya bertambah.
Sekarang bagaimana masalahnya supaya jumlah jam kerja yang disediakan untuk bekerja itu meningkat. Untuk itu perlu diketahui bahwa tersedianya jam kerja untuk proses produksi itu dipengaruhi oleh kemauan dan kemampuan untuk bekerja. Orang mau bekerja tetapi tidak mampu bekerja sama artinya bagi peningkatan produksi dengan orang yang mampu bekerja tetapi tidak mau bekerja. Oleh karena itu kita harus sanggup mencari faktor-faktor apa yang dapat meningkatkan kemauan dan kemampuan untuk bekerja seseorang. Teori ekonomi sudah menemuka bahwa kemauan seseorang untuk bekerja itu lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat upah yang ada.
Semakin tinggi tingkat upah, semakin tinggi kemauan seseorang untuk bekerja atau menawarkan tenaga kerjanya. Dilain pihak kemampuan untuk bekerja seseorang terutama sekali dipengaruhi oleh keadaan kesehatannya dan kecakapannya, keterampilan dan keahliannya. Selanjutnya tingkat kesehatan dipengaruhi oleh keadaan gizi dan lingkungannya, sedangkan kecakapan, keterampilan dan keahlian dipengaruhi oleh tingkat pendidikan baik formal maupun tidak formal seperti latihan kerja (on the job training).
TENAGA KERJA DALAM PRODUKSI PERTANIAN
  1. Tenaga Kerja Sebagai Faktor Produksi
Pembicaraan mengenai tenaga kerja dalam pertanian di Indonesia harus dibedakan kedalam persoalan tenaga kerja dalam usahatani kecil-kecilan (usahatani pertanian rakyat) dan persoalan tenaga kerja dalam perusahaan pertanian yang besar-besar yaitu perkebunan, kehutanan, peternakan dan sebagainya. Pembedaan ini penting karena apa yang dikenal sebagai tenaga kerja dalam usahatani tidaklah sama pengertiannya secara ekonois dengan pengertian tenaga kerja dalam perusahaan-perusahaan dalam perkebunan. Dalam usahatani sebagian besar tenaga kerja berasal dari keluarga besar petani sendiri yang terdiri atas ayah sebagai kepala keluarga, istri dan anak-anak petani. Anak-anak berumur 12 tahun misalnya, sudah dapat merupakan tenaga kerja yang produktif bagi usahatani. Mereka dapat membantu mengatur pengairan, mengangkut bibit atau pupuk ke sawah atau membantu penggarapan sawah. Selain itu anak-anak petani dapat mengembala kambing atau sapi, itik atau menangkap ikan dan lain-lain yang menyumbang pada produksi pertanian keluarga. Tenaga kerja yang berasal dari keluarga petani ini merupakan sumbangan keluarga pada produksi pertanian secara keseluruhan dan tidak pernah dinilai dalam uang. Memang usahatani dapat sekali-kali membayar tenaga kerja tambahan misalnya dalam tahap penggarapan tanah baik dalam bentuk pekerjaan ternak maupun tenaga kerja langsung.
Bahwa peranan tenaga kerja yang berasal dari keluarga petani sendiri memegang peranan yang penting tidaklah hanya khusus kita dapati di Indonesia saja. Juga di Negara-negara yang sudah maju pertaniannya, istri dan anak petani ikut aktif menyumbang pada kegiatan produksi. Kalau seseorang petani mengalami kekurangan tenaga pada saat penggarapan tanah sawah maka ia akan dapat minta tolong pada tetangga dan familinya dengan pengertian ia akan kembali menolongnya pada kesempatan yang lain. Dengan cara begini tidak ada upah uang yang harus dibayar dan ini dapat menekan ongkos tenaga kerja. Sifat tolong menolong ini ada pada petani dimana saja, dalam satu desa atau lebih. Kaslan Tohir menunjukkan bahwa di Indonesia tolong menolong ini lebih banyak terdapat pada tanaman padi daripada palawija. Ini berarti bahwa tolong menolongmemang benar-benar lebih banyak terdapat pada pekerjaan dimana dimungkinkan pengembalian pekerjaan yang sama pada tanaman yang sama. Petani yang menanam tembakau misalnya walaupun memerlukan lebih banyak tenaga kerja tidak dapat mengharapkan tenaga kerja bantuan secara gratis. Pertama-tama ia akan mengerahkan tenaga kerja keluarga sendiri sebanyak-banyaknya. Baru setelah ini belum cukup maka diupahnya tenaga kerja tambahan dari luar keluarga. Tenaga kerja dari luar dapat berupa tenaga kerja harian atau borongan tergantung pada keperluan. Tenaga kerja untuk penggarapan sawah biasanya diatur secara borongan.
  1. Tenaga Kerja dan Pemimpin Usahatani
Kalau orang mengatakan bahwa dalam usahatani tenaga kerja adalah salah satu faktor produksi yang utama, maka yang dimaksudnya adalah mengenai kedudukan si petani dalam usahatani. Petani dalam usahatani tidak hanya menyumbangkan tenaga (labor) saja. Dia adalah pemimpin (manager) usahatanni yang mengatur organisasi produksi secara keseluruhan. Ia memutuskan berapa pupuk akan dibeli dan digunakan, berapa kali tanah dibajak dan diratakan, berapa kali rumput-rumput akan dibersihkan dan bahkan dialah yang memutuskan apakah akan dipakai tenaga kerja dari luar disamping tenaga kerja dari keluarga sendiri. Jadi jelaslah bahwa disini memang kedudukan si petani sangat menentukan usahatani. Fungsi yang sangat penting ini disebabkan oleh kedudukan rangkap dari petani itu. Dalam usahatani yang semakin besar maka petani semakin tidak mampu merangkap kedua fungsi itu. Fungsi sebagai tenaga kerja harus dilepaskan dan ia memusatkan diri pada fungsi sebagai pemimpin usahatani (manager). Lebih lanjut lagi ada kemungkinan ia memutuskan untuk mengangkat seorang manager yang kompeten. Manager ini dapat secara penuh memimpin usahatani dengan gaji tertentu dan bertanggungjawab kepada petani pemilik usahatani.
  1. Tenaga Kerja Sebagai Faktor Biaya
Dalam bacaan-bacaan banyak kita dapati perbedaan perlakuan tenaga kerja sebagai faktor biaya antara pertanian di Negara-negara yang sudah sangat maju (dengan luas rata-rata usahatani yang besar) dengan pertanian seperti di Indonesia (yang luas rata-rata usahataninya sangat kecil).
Di Negara-negara yang sudah maju, kemajuan pertanian diukur dengan tingginya produktivitas tenaga kerja dan semua usaha diarahkan untuk meningkatkan produktivitas itu. Sebalikya di Negara-negara yang miskin seperti di Negara kita yang prinsipnya yang demikian tidak selalu cocok dengan keperluan. Kalau di Negara-negara maju tersebut faktor tenaga kerja merupakan faktor produksi yang paling terbatas jumlahnya, maka di Negara kita tenaga kerja justru merupakan faktor produksi yang paling kurag terbatas jika dibandingkan dengan tanah dan modal. Dalam keadaan seperti pada Negara yang sudah maju itu mesin-mesin “penghemat tenaga kerja” (labor saving) ditemukan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerj dan produktivitas pertanian pada umumnya. Prinsip ekonomi pertanian seperti di Amerika Serikat haruslah meningkatkan efisiensi dalam penggunaan tenaga kerja per orang dan tidak pada peningkatan efisiensi dalam penggunaan tanah per hektar. Namun seperti di Amerika Serikat, beberapa syarat harus dipenuhi untuk menjamin efisiensi penggunaan tenaga kerja yang maksimum, yaitu: a) persediaan tanah harus cukup; b) alat-alat pertanian, mesin-mesin dan tenaga kerja (power) harus cukup; c) ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian harus cukup; dan d) manajemen usahatani harus jempolan (superior).
Salah satu sebab utama mengapa pertanian di Amerika Serikat mengalami kemajuan yang sangat hebat, sehingga menghasilkan kelebihan produksi untuk ekspor ke seluruh dunia adalah karena syarat-syarat tersebut dapat dipenuhi universitas-universitas yang mengadakan sosialisasi dalam bidang pertanian dibantu dan didorong oleh pemerintah (landgrant colleges), pendidikan ahli-ahli ekonomi pertanian untuk tugas-tugas manajemen didorong agar maju. Usahatani kecil-kecilan yang dianggap kurang efisien diperluas menjadi usahatani yang besar-besar dengan penanaman modal yang besar jumlahnya.
  1. Produktivitas Tenaga Kerja
John Mellor telah menyusun dua buah fungsi produksi hipotesis bagi tenaga kerja di Negara-negara yang miskin dan belum maju dengan cara membedakan dua keadaan pertanian.
  1. Daerah Subur, Pertanian Produktif, Penduduk Padat
Daerah-daerah ini nampaknya dapat kita temukan di sebagian pulau jawa yang pengairannya baik. Hasil produksi rata-rata tenaga kerja di daerah seperti ini masih selalu lebih tinggi daripada kebutuhan subsitensi (subsitence requirement).
Dalam keadaan yang demikian pertanian masih mampu menyediakan makanan pada penduduk walaupun tingkat pendapatan sudah sangat rendah. Walaupun tingkat pendapatan sudah demikian rendah tapi karena sangat terbatasnya lapangan pekerjaan diluar sektor pertanian, maka tidak mungkin menyerap tenaga kerja dari sektor pertanian. Penawaran tenaga kerja ini makin lama makin besar, lebih-lebih jika tingkat pertambahan penduduk pada umumnya sangat tinggi misalnya 2,5-3% per tahun. Jumlah penawaran tenaga kerja ini tergantung pada tingkat pertambahan penduduk di satu pihak dan pertambahan kesempatan kerja di pihak lain.
  1. Daerah Tandus, Pertanian Kurang Produktif, Penduduk Kurang Padat
Daerah-daerah seperti Gunung Kidul, Wonogiri, Blitar Selatan sampai Malang Selatan dan daerah-daerah pegunungan kapur lainnya merupakan daerah yang sedikit memiliki sumber-sumber alam untuk pertanian yang produktif. Perbandingan antara penduduk dan tenaga kerja dengan tanah-tanah pertanian (man-land ratio) sebenarnya lebih rendah dari pada daerah (a) diatas. Namun begitu karena tanah pertaniannya kurang subur maka tingkat pendapatan di daerah itu lebih rendah. Perbedaannya dengan keadaan diatas adalah bahwa disini produksi total tidak dapat tinggi dan hasil produksi rata-rata tidak pernah lebih tinggi daripada kebutuhan minimum untuk subsistensi untuk daerah-daerah demikian, maka penduduk makanannya banyak di tambahdengan ubi-ubian terutama gaplek dan daun-daunan. Mutu gizi makanan sangat rendah. Penarikan tenaga kerja dari daerah-daerah seperti ini untuk keperluan diluar daerah pertanian (atau transmigrasi) juga akan mengakibatkan turunnya hasil produksi total.
Petani pada umumnya rajin dan semangat gotong royong tinggi tetapi karena tanah memang tidak subur maka keadaan penghidupan sangat menyedihkan. Di kedua daerah ini tidak kita temukan produktivitas tenaga kerja yang nol atau negatif. Cara yang sedang diadakan untuk meningkatkan pendapatan di daerah-daerah seperti ini adalah dengan penciptaan proyek padat karya yang sekaligus menambah sumber-sumber ekonomi. Misalnya penggalian saluran-saluran irigasi, penggalian sumur-sumur untuk pengairan dan sebagainya. Tetapi proyek-proyek demikian mungkin akan memakan waktu lama dalam penyelesaiannya karena harus dicarikan waktu-waktu dan bulan-bulan dimana tenaga kerja desa paling banyak menganggur. Pada waktu musim persiapan atau penggarapan tanah petani bekerja di sawah atau tegalnya masing-masing.

Peningkatan Mutu Tenaga Kerja
Produktivitas tenaga kerja pertanian dapat ditingkatkan melalui berbagai cara antara lain dengan cara pendidikan dan latihan untuk meningkatkan mutu dan hasil kerjanya. Sebagian besar dari pengetahuan dan keterampilan petani dalam bekerja diperoleh dari orang tuanya yang membimbing sejak masih anak-anak. Tetapi sudah pernah disebutkan teknologi baru di bidang pertanian kadang-kadang berasal dari tempat yang jauh dari petani. Untuk menyampaikannya pada petani diperlukan suatu cara khusus. Inilah tugas pendidikan dan latihan bagi petani-petani yang sudah dewasa. Pendidikan yang dimaksudkan disini tentu saja bukan pendidikan elementer dan pendidikan dasar ilmu tumbuh-tumbuhan atau ilmu hewan yang sudah diajarkan pada sekolah-sekolah dasar di desa, tetapi pendidikan dan latihan tambahan dalam cara-cara bertani yang lebih produktif, dalam menerapkan penemuan-penemuan baru berupa alat-alat atau bahan-bahan pertanian dan manajemen usahatani pada umumnya.
Pendidikan dan latihan ini dilakukan oleh petugas-petugas penyuluhan pertanian yang kompeten, tenaga kerja sukarela dengan sedapat mungkin disertai demonstrasi-demonstrasi dalam kebun-kebun percobaan dinas pertanian. Pada malam hari dapat diadakanpertunjukan film mengenai praktek-praktek pertanian antara lain yang sudah maju pertaniannya. Di samping kemungkinan untuk menirunya juga dapat merangsang motivasi dan daya kreasi petani.
Walaupun pada umumnya petani merupakan manajer usahatani yang baik, tetapi akan sangat bermanfaat untuk selalu menerangkan kepada petani implikasi setiap kebijaksanaan pertanian terutama kebijaksanaan-kebijaksanaan yang baru. Dengan begitu mereka akan selalu mutakhir dalam pemikiran-pemikirannya dan akan mampu membuat putusan yang tepat bagi usahatani. Jadi peningkatan mutu petani dalam programyang demikian tidak hanya bersifat teknis dan fisik, tapi juga bersifat mental dan berhubungan dengan keterampilan manajemen.
  1. Mobilitas dan Efisiensi Tenaga Kerja
Salah satu penyebab penting mengapa tenaga kerja berlimpah di pedesaan adalah karena kesempatan kerja di kota hampir tidak ada. Industry-industri yang memerlukan banyak tenaga kerja belum banyak berkembang. Kalaupun ada biasanya memerlukan tenaga kerja terdidik dan atau terlatih, suatu syarat yang sukar sekali dipenuhi oleh petani di desa. Dalam keadaan yang sangat mendesak banyak petani yang pergi ke kota mencari pekerjaan. Biasanya menjadi pengendara becak, suatu pekerjaan yang tidak memerlukan pendidikan formal dan latihan yang diperlukan sedikit sekali. Pekerjaan ini lebih menarik lagi karena mereka tidak memerlukan rumah khusus untuk menetap di kota.
Mereka biasanya tidur di becaknya baik di tepi-tepi jalan maupun di tempat-tempat pemilik becak. Di samping tukang becak yang tetap mereka itu kebanyakan adalah petani-petani yang ingin mendapat tambahan pendapatan di kota. Pada saat-saat penggarapan sawah dan masa panen, mereka dapat kembali ke desa.dalam keadaan perekonomian kota yang belum maju benar ada mobilitas yang tinggi dari tenaga kerja antara desa dan kota. Hampir tidak ada petani yang memutuskan untuk pindah ke kota bersama keluarganya untuk mencari pekerjaan. Biaya hidup di kota terlalu tinggi bagi mereka. Jadi disamping pencarian pekerjaan bersifat musiman, juga kebanyakan tenaga kerja ini adalah tenaga kerja laki-laki yang mempunyai keluarga di desa.
Di zaman sebelum kemerdekaan, pembukaan perkebunan-perkebunan yang banyak jumlahnya merupakan suatu pemecahanyang baik. Perkebunan-perkebunan ini banyak menggantungkan pada tenaga kerja musiman dari desa sekitarnya baik laki-laki maupun perempauan. Sampai sekarang perkebunan-perkebunan tebu atau tembakau menggunakan tenaga kerja petani dari desa-desa disekitarnya. Perkebunan-perkebunan merupakan industry pertanian yang menciptakan industry dan lapangan pekerjaan tanpa mendirikan kota-kota.
Dengan adanya perkembangan yang demikian maka penduduk desa tetap padat dan terus bertambah padat. Pendapata petani terus menurun setelah perkebunan-perkebunan banyak di tutup. Tidak hanya perkebunan gula tebu yang di bumi hanguskan pada zaman perang kemerdekaan, tapi juga karet, teh, kopi dan lain-lain yang keadaan pasarnya di dunia terus memburuk. Keadaan demikian sangat berbeda dengan Jepang dimana tenaga kerja di desa banyak di tamping oleh industry-industri di kota yang mengalami perkembangan pesat.
Mobilitas tenaga kerja tidak terbatas di jawa saja tetapi juga meliputi pulau-pulau di luar jawa. Perkembangan perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur, adalah contoh terpenting yang menyebabkan perpindahan besar-besaran tenaga kerja dari jawa. Untuk perkebunan tembakau Sumatera Timur saja pada tahun 1939 hampir seperempat juta orang meninggalkan jawa. Banyak diantara mereka yang setelah di kontrak habis kembali lagi ke jawa, ke desanya yang lama.
Jadi masalah tenaga kerja di desa di Indonesia bukanlah masalah penyedotan tenaga kerja yang berlebihan di desa untuk di tamping di kota-kota dalam proyek-proyek industry tetapi masalah mobilitas, yaitu masalah alokasi dan raelokasi yang sifatnya dapat musiman atau sementara. Industry di Negara kita jumlahnya belum berarti untuk menampung tenaga kerja desa ini. Dari uraian-uraian tersebut jelaslah bahwa mobilitas tenaga kerja desa baik-baik yang sifatnya sementara maupun yang sifatnya permanen mempunyai dua tujuan ekonomis yang penting.
Pertama, sebagai satu cara mengurangi perbedaan tingkat pendapatan antara desa dan kota, kalau di tinjau dari sudut petani usahauntuk meningkatkanefisiensi produk pertanian dan kedua, sebagai suatu cara untuk meningkatkan efisiensi produksi pertanian. Banyak sarjana ekonomi terlalu menekankan peranan petani sebagai salah satu faktor produksi pertanian sebagai salah satu faktor produksi pertanian tanpa mengingat bahwa mereka itu adalah manusia individu yang tidak saja mempunyai kebutuhan ekonomi tapi juga mempunyai kebutuhan non ekonomi. Selain itu petani adalah juga anggota masyarakat pedesaan yang mempunyai ciri-ciri khusus yang berbeda dengan masyarakat kota. Berbagai aspek sosiologis dan tradisi ikut mempengaruhi putusan petani untuk pindah meninggalkan lingkunagan masyarakat desa. Satu atau beberapa indicator ekonomi saja mungkin tidak mampu menerangkan perilaku petani yang di rasa kurang development minded. Beberapa pengarang mengakui bahwa mobilitas tenaga kerja di Indonesia cukup tinggi walaupun dalam kesempatan kerja tenaga kerja sangat terbatas.
Efisiensi dalam penggunaan tenaga kerja salah satu contoh lain dimana peninjauan ekonomi saja tidak mampu menerangkan penggunaan tenaga kerjasecara efisien adalah penggunaan ani-ani untuk memetik padi terutama di jawa. Penny dan Annuar Arif mengadakan penelitian khusus tentangsoal ini di Sumatera Utara pada tahun 1962. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa penggunaan ani-ani yang terus menerus semata-mata di dorongoleh kebiasaan dan diperkuat oleh perasaan masa bodoh dan keinginan yang salah untuk pembagian rejeki di desa.
Hal yang demikian disebut oleh Clifford Geerts sebagi pembagian kemelaratan (shared poverty). Walaupun data ekonomi yang di kesimpulkan memang tidak menjurus ke arah kesimpulan yang demikian itu, namun kesalahannya terletak pada asumsi bahwa kebiasaan dan keinginan pembagian rejeki tersebut seakan-akan dapat dipisahkan sama sekali dari faktor ekonomi.dengan kata lain tidak ada faktor-faktor ekonomi dalam tindakan petani yang berdasarkan kebiasaan dan dalam keinginannya terhadap pembagian rejeki itu. Yang pasti adalah bahwa penggantian ani-ani dengan sabit bagi petanitidaklah semata-mata berarti penggantian satu alat produksi dengan alat produksi yan lain dan yang lebih efisien (menghemat tenaga), tetapi menyangkut persoalann perubahan fungsi produksi secara keseluruhan. Pemanenan padi dengan ani-ani di jawa dilakukan oleh wanita. Wanita mengerjakan ini berdasarkan system (pola) pembagian kerja yang sudah mantap antara pria dan wanita selama beberapa generasi. Kalau bagi peninjau dari luar Nampak seakan-akan semuanya tercakup dalam adat, tetapi penelitian antar disiplin yang lebih mendalam akan menunjukan bahwa dalam adat itu terkandung pertimbangan-pertimbangan dan faktor-faktor social ekonomi tertentu. Dengan demikian maka dalam meninjau masalah mobilitas tenaga kerja untuk peningkatan produksi dan pembangunan pertanian sebenarnya faktor no ekonomis harus pula dipertimbangkan.
  1. Transmigrasi dan Migrasi Sebagai Perluasan Lapangan Kerja
Persoalan transmigrasi dapat di tinjau dari empat segi:
  1. Sebagai persoalan pemecahan masalah penduduk pada umumnya
  2. Sebagai cara untuk memperluas areal tanah pertanian
  3. Cara untuk memperluas kesempatan kerja, dan
  4. Cara untu membantu pembangunan daerah
Sebagai program perluasan lapangan kerja transmigrasi tidak berbeda dari migrasi pada umumnya. Yaitu perpindahan dari daerah yang satu ke daerah lainnya, dari desa ke kota, dari daerah yang padat penduduknya ke daerah yang kurang penduduknya. Dalam hal yang demikian maka transmigrasi ini hanya merupakan soal yang lebih khusus dari mobilitas tenaga kerja pada umumnya sebagaimana sudah dibicarakan pada bagian atas.
Secara teoritis transmigrasi dapat ditinjau dari segi mikro atau makro. Dari segi (ekonomi) mikro maka transmigrasi akan terjadi bila produktivitas marginal tenaga kerja di daerah lama ke daerah baru. Faktor-faktor sosial budaya juga masuk dalam pertimbangan para transmigran. Bila ditinjau secara ekonomi makro maka transmigrasi adalah salah satu alokasi investasi biasa yang hanya bersifat produktif apabila hasilnya melebihi biaya investasi itu. Anggaran transmigrasi selalu dapat dinilai sebagai biaya alternative (opportunity cost) karena mungkin dapat digunakann untuk program lain yang lebih produktif.
Itulah sebabnya ada ahli yang berpendapat bahwa peningkatan industrialisasi lebih tepat untuk memecahkan masalah penyerapan kelebihan tenaga kerja di Jawa dari pada transmigrasi. Atau pemindahan penduduk dari Jawa ke Luar Jawa tidak terlalu ditekankan pada pembukaan tanah-tanah pertanian tetapi pada proyek-proyek industry atau proyek-proyek lain di luar pertanian.
Golongan penduduk yang tergolong sebagai angkatan kerja adalah penduduk yang berumur di antara 15 hingga 64 tahun, kecuali : (i) ibu rumah tangga yang lebih suka menjaga keluarganya dari pada bekerja, (ii) penduduk muda dalam lingkungan umur tersebut yang masih meneruskan pelajarannya di sekolah dan universitas, (iii) orang yang belum mencapai umur 65 tetapi sudah pensiun dan tidak mau bekerja lagi, dan (iv) pengangguran sukarela, yaitu golongan penduduk dalam lingkungan umur tersebut yang tidak secara aktif bekerja atau mencari pekerjaan. Dengan demikian jumlah angkatan kerja dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :
L = PL – (IR + MP + PP + PS)
dimanan L adalah jumlah tenaga kerja (atau angkatan kerja). PL adalah penduduk dalam lingkungan umur 15-64 tahun, adalah ibu rumah tangga yang tidak ingin bekerja. MP adalah mahasiswa dan pelajar, PP adalah pekerja yang telah pensiun dan tidak ingin bekerja lagi, dan PS adalah orang-orang tidak sekolah dan tidak bekerja dan juga tidak mencari pekerjaan. Penduduk dalam lingkungan umur 15-64 tahun, yaitu PL, dapat dipandang sebagai tenaga kerja potensial. Mereka sudah dapat digolongkan sebagai tenaga kerja apabila mereka benar-benar memilih untuk bekerja atau mencari pekerjaan. Tetapi sebagian dari mereka, berdasarkan kepada pilihan sendiri.
PENGANGGURAN (UNEMPLOYMENT)
Menganggur tidak sama dengan tidak bekerja atau tidak mau bekerja, tidak dapat dikatakan sebagai pengangguran sebab jika dia mencari pekerjaan (ingin bekerja), mungkin dengan segera mendapatkannya. Kalau begitu, mengapa dia tidak mau bekerja? Mungkin karena sudah kaya. Misalnya, tabungannya sudah mencapai Rp. 3 milyar. Jika tingkat bunga deposito bersih (setelah dipotong pajak) 1 % per bulan (12% pertahun), maka tanpa bekerja penghasilannya mencapai Rp. 30 juta perbulan. Sudah lebih dari cukup. Alasan – alasan lain yang membuat orang tidak (mau) bekerja antara lain adalah ibu-ibu yang harus mengasuh anak, kawula muda yang harus sekolah/kuliah dahulu.
  1. Definisi dan Pengertian Pengangguran
Contoh dalam paragraf di atas merupakan pengantar untuk membuat lebih mudah memahami konsep pengangguran (unemployment). Sebab definisi ekonomi tentang pengangguran tidak identic dengan tidak mau bekerja. Seseorang baru dikatakan menganggur bila dia ingin bekerja dan telah berusaha mencari kerja, namun tidak mendapatkannya.
Dalam ilmu kependudukan (demografi), orang yang mencari kerja masuk dalam kelompok penduduk yang disebut angkatan kerja. Berdasarkan kategori usia, usia angkatan kerja adalah 15-64 tahun. Tetapi tidak semua orang yang berusia 15-64 tahun dihitung sebagai angkatan kerja. Yang dihitung sebagai angkatan kerja adalah penduduk berusia 15-64 tahun yang bekerja, dan sedang mencari kerja, sedangkan yang tidak mencari kerja, entah harus mengurus keluarga atau sekolah, tidak masuk angkatan kerja. Tingkat pengangguran adalah persentasi angkatan kerja yang tidak/belum mendapatkaan pekerjaan lebih jelasnya anda dapat melihat diagram berikut ini.
Struktur Penduduk Berdasarkan Usia
Pada diagram di atas terlihat bahwa jumlah penduduk suatu Negara dapat dibedakan menjadi penduduk usia kerja (15-64 tahun) dan bukan usia kerja. Yang masuk kelompok bukan usia kerja (usia non-produtif) adalah anak-anak (0-14 tahun) dan manusia lanjut usia (manula) yang berusia lebih dari 65 tahun. Dari jumlah penduduk usia kerja, yang masuk angkatan kerja adalah mereka yang mencari kerja atau bekerja. Sebagian yang tidak bekerja (dengan berbagai alasan) tidak masuk angkatan kerja (bukan angkatan kerja). Lebih lanjut lagi terlihat, ternyata tidak semua angkatan kerja memperoleh lapangan kerja. Mereka inilah yang disebut pengangguran.
Tingkat pengangguran = Jumlah yang Menganggur   x 100%
JumlahAngkatan Kerja
Besar kecilnya angka pengangguran sangat tergantung dari definisi atau pengklasifikasian pengangguran. Setidak-tidaknya ada dua dasar utama klasifikasi pengangguran, yaitu pendekatan angkatan kerja (Labour Force Approach) dan pendekatan pemanfaatan tenaga kerja (Labour Utilization Approach).
  • Pendekatan Angkatan Kerja (Labour Force Approach)
Pendekatan ini mendefinisikan pengangguran sebagai angkatan kerja yang tidak bekerja
  • Pendekatan Pemanfaat Tenaga Kerja (Labour Utilization Approach)
Dalam pendekatan ini, angkatan kerja dibedakan menjadi 3 kelompok yakni :
  1. Menganggur (unemployed) yaitu mereka yang sama sekali tidak bekerja atau sedang mencari pekerajaan. Kelompok ini sering disebut juga pengangguran terbuka (open unemployment). Berdasarkan definisi ini tingkat pengangguran di Indonesia umumnya relative rendah, yaitu 3 % sampai 5 % pertahun.
  2. Setengah Menganggur (underemployed)
Yaitu mereka yang bekerja, tetapi belum dimanfaatkan secara penuh, artinya jam kerja mereka dalam seminggu kurang dari 35 jam. Berdasarkan definisi ini tingkat pengangguran di Indonesia relative tinggi, karena angkanya berkisar 35 % pertahun
  1. Bekerja Penuh (umployed), yaitu orang-orang yang bekerja penuh atau jam kerjanya dalam seminggu mencapai 35 jam.
  1. Jenis – Jenis Pengangguran
Dalam studi ekonomi makro yang lebih lanjut pembahasan masalah pengangguran akan dilakukan lebih spesifik dan cermat. Misalnya akan dibahas apakah pengangguran yang terjadi merupakan pengangguran sukarela (Voluntary Unemployment) atau pengangguran duka lara (Involuntary Unemployment). Pengangguran sukarela adalah pengangguran yang bersifat sementara, karena seseorang ingin mencari pekerjaan yang lebih baik atau lebih cocok. Pengangguran dukalara adalah pengangguran yang terpaksa diterima oleh seseorang, walaupun sebenarnya dia masih ingin bekerja. Pengangguran sukarela dan dukalara erat kaitannya dengan jenis-jenis pengangguran berikut ini.
  1. Pengangguran Friksional (Frictional Unemployment)
Apabila dalam uatu periode tertentu perekonomian terus-menerus mengalami perkembangan yang pesat, jumlah dan tingkat pengangguran akan semakin rendah. pada akhirnya perekonomian dapat mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (full employment), yaitu apabila pengangguran tidak melebihi 4%. pengangguran ini dinamakan pengangguran friksional (Frictional Unemployment). segolongan ahli ekonomi menggunakan istilah pengangguran normal atau pengangguran mencari (search unemployment). pengangguran jenis ini bersifat sementara dan terjadi karena adanya kesenjangan antara pencari kerja dengan lowongan kerja. kesenjangan ini dapat berupa kesenjangan waktu,informasi ataupun karena kondisi geografis atau jarak antara pencari kerja dan kesempatan (lowongan) kerja. mereka yang masuk dalam katagori pengangguran sementara umumnya rela menganggur (voluntary unemployment) untuk mendapat pekerjaan.
pengangguran Friksional bukanlah wujud sebagai akibat dari ketidakmampuan memperoleh pekerjaan melainkan sebagai akibat dari keinginan untuk mencari kerja yang lebih baik. di dalam proses mencari kerja yang lebih baik itu ada kalanya mereka yang harus menganggur. namun pengangguran ini tidak serius karena bersifat sementara.
pengangguran friksional merupakan perputaran normal tenaga kerja. seorang muda yang memasuki angkatan kerja mencari pekerjaan. orang meninggalkan pekerjaannya karena berbagai alasan. beberapa orang keluar karena tidak puas dengan kondisi kerjanya,ada juga yang keluar karena dipecat. apapun alasannya,mereka harus mmencari pekerjaan yangb memerlukan waktu. orang yang menganggur selama mencari pekerjaan dikatakan menganggur secara friksional.
  1. Pengangguran Struktural (Structural Unemployment)
dikatakan pengangguran struktural karena sifatnya yang mendasar. pencari kerja tidak mampu memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk lowongan pekerjaan yang tersedia. hal ini terjadi dalam perekonomian yang berkembag pesat. semakin tinggi dan rumitnya proses produksi atau teknologi produksi yang digunakan, menuntut persyaratan tenaga kerja yang juga makin tinggi. misalnya tenaga kerja yang dibutuhkan untuk industry kimia menuntut persyaratan yang relative berat,yaitu pendidikan minimal sarjana muda (program D3), mampu menggunakan computer dan menguasai minimal bahasa inggris.
dengan makin besarnya peranan mekanisme pasar yang semakin mengglobal, maka toleransi terhadap kekurangan persyaratan yang dibutuhkan masih dapat ditoleransi, selama kekurangannya hanya sedikit. sebab penawaran tenaga kerja yang berkualitas baik relative sedikit dibanding kebutuhan. tetapi sekarang yang terjadi adalah kelebihan tenaga kerja yang berkualitas. Jika tetap terjadi kekurangan, dapat diatasi dengan mendatangkan tenaga kerja asing.
dilihat dari sifatnya,pengangguran struktural lebih sulit diatasi dibanding pengangguran friksional. selain membutuhkan pendanaan yang besar, juga waktu yang lama. bahkan untuk Indonesia pengangguran struktural merupakan masalah besar di masa mendatang, jika tidak ada perbaikan kualitas SDM.
pengangguran struktural bisa didefinisikan sebagai pengangguran yang disebabkan karena tidak adanya titik temu antara struktur angkatan kerja berdasarkan keterampilan, jenis pekerjaan, industry, dan lokasi geografis dengan struktur permintaan tenaga kerja.
  1. Pengangguran Siklis (Cyclical Unemployment)
Pengangguran Siklis (Cyclical Unemployment) atau pengangguran konjungtur adalah pengangguran yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan dalam tingkat kegiatan perekonomian. Pada waktu kegiatan ekonomi mengalami kemunduran, perusahaan-perusahaan harus mengurangi kegiatan memproduksi. Dalam pelaksanaannya berarti jam kerja dikurangi, sebagian mesin produki tidak digunakan, dan sebagian tenaga kerja diberhentikan. Dengan demikian, kemunduran ekonomi akan menaikkan jumlah dan tingkat pengangguran.
tenaga kerja akan terus bertambah sebagai akibat pertambahn penduduk. Apabila kemunduran ekonomi terus berlangsung sehingga tidak dapat menyerap tambahan tenaga kerja, maka pengangguran konjungtur akan menjadi bertambah serius. Ini berarti diperlukan kebijakan-kebijakan ekonomi guna meningkatkan kegiatan ekonomi, dan harus diusahakan menambah penyediaan kesempatan kerja untuk tenga kerja yang baru memasuki pasar teng kerja (sebagai akibat bertambahnya penduduk). pengangguran konjungtur hanya dapat dikurangi atau diatasi masalahnya apabila pertumbuhan ekonomi yang terjadi setelah kemunduran ekonomi cukup besar juga dapat menyedikan kesempatan kerja baru yang lebih besar dari pertambahan tenaga kerja yang terjadi.
  1. Pengangguran Musiman (Seasonal Unemployment)
Pengangguran ini berkaitan erat dengan fluktuasi kegiatan ekonomi jangka pendek, terutama terjadi di sektor pertanian. mislnya, di luar musim tanam dan panen, petani umumnya menganggur, sampai menunggu musim tanam dan panen berikutnya.
  1. Pengangguran Teknologi (Technology Unemployment)
Pengangguran dapat pula ditimbukan oleh adanya penggantian tenaga manusia oleh mesin-mesin dan bahan kimia. racun ilalang dan rumput, misalnya telah mengurangi penggunaan tenaga kerja untuk membersihkan perkebunan, sawah, dan lahan pertanian lain. begitu juga mesin telah mengurangi kebutuhan tenaga kerjan untuk membuat lubang, memotong rumput, membersihkan kawasan, dan memungut hasil. sedangkan di pabrik-pabrik, ada kalanya robot telah menggantikan kerja-kerja manusia. pengangguran yang ditimbulkan oleh penggunaan mesin dan kemajuan teknologi lainnya dinamakan pengangguran teknologi.
  1. Jenis Pengangguran Berdasarkan Cirinya
  2. Pengangguran Terbuka
Pengangguran ini tercipta sebagai akibat pertambahan tenaga kerja. Sebagai akibatnya dalam perekonomian semakin banyak jumlah tenaga kerja yang tidak dapat memperoleh pekerjaan. Efek dari keadaan ini di dalam suatu jangka masa yang cukup panjang mereka tidak melakukan suatu pekerjaan. Jadi mereka menganggur secara nyata dan sepenuh waktu, dan oleh karenanya dinamakan pengangguran terbuka. Pengangguran terbuka dapat pula wujud sebagai akibat dari kegiatan ekonomi yang menurun, dari kemajuan teknologi yang mengurangi penggunaan tenaga keja, atau sebagai akibat dari kemunduran perkembangan sesuatu industri.
  1. Pengangguran Tersembunyi
Pengangguran tersembunyi terjadi terutama wujud di sektor pertanian atau desa. Setiap kegiatan ekonomi memerlukan tenaga kerja, dan jumlah tenaga kerja yang digunakan tergantung kepada banyak faktor. Antara lain faktor yang pelru dipertimbangkan adalah besar atau kecilnya perusahaan, jenis kegiatan perusahaan, mesin yang digunakan (apakah intensif buruh atau intensif modal) dan tingkat produksi yang dicapai. Di banyak negara berkembang seringkali didapati bahwa jumlah pekerja dalam suatu kegiatan ekonomi lebih banyak dari yang sebenarnya diperlukan supaya ia dapat menjalankan kegiatannya dengan efisien. Kelebihan tenaga kerja yang digunakan digolongkan dalam pengangguran tersembunyi. Contoh-contohnya ialah pelayan restoran yang lebih banyak dari yang diperlukan dan keluarga petani dengan anggota keluarga yang besar petani dengan anggota keluarga yang besar yang mengerjakan luas tanah yang sangat kecil.
  1. Pengangguran Bermusim
Pengangguran ini terutama terdapat disektor pertanian dan perikanan. Pada musim hujan penyadap karet dan nelayan tidak dapat melakukan pekerjaan mereka dan dapat melakukan pekerjaan mereka dan terpaksa mengganggur. Pada musim kemarau pula para pesawah tidak dapat mengerjakan tanahnya. Disamping itu pada umumnya para pesawah tidak begitu aktif diantara waktu sesudah menanam dan sesudah menuai. Apaila dalam masa diatas para penyadap karet, nelayan dan pesawah tidak melakukan pekerjaan lain maka mereka terpaksa menganggur. Pengangguran seperti ini digolongkan sebagai pengangguran bermusim.
  1. Setengah Menganggur
Di Negara-negara berkembang penghijrahan atau migrasi dari desa ke kota adalah sangat pesat. Sebagai akibatnya tidak semua orang yang pindah ke kota dapat memperoleh pekerjaan dengan mudah. Sebagiannya terpaksa menjadi penganggur sepenuh waktu. Di samping itu ada pula yang tidak menganggur, tetapi tidak pula bekerja sepenuh waktu, dan jam kerja mereka dalah jauh lebih rendah dari yang normal. Mereka mungkin hanya bekerja satu hingga dua hari seminggu, atau satu hingga 4 jam sehari. Pekerja-pekerja yang mempunyai masa kerja seperti yang dijelaskan ini digolongkan sebagai setengah menganggur atau dalam bahasa inggris: underemployed. Dan jenis penganggurannya dinamakan underemployment.
  • Karakteristik Pengangguran di Amerika Serikat
Anatomi pengangguran terbentuk sekitar tiga fakta pokok perilaku pengangguran di Amerika Serikat :
  • Terdapat arus keluar-masuk individu yang besar atas pengangguran setiap bulan, dan hampir setiap orang yang menjadi penganggur pada bulan tertentu, tetap menganggur hanya untuk waktu yang singkat.
  • Kebanyakan pengangguran di Amerika Serikat terdiri dari orang yang akan menganggur untuk waktu yang sangat lama.
  • Terdapat perbedaan yang besar dari tingkat pengangguran pada berbagai kelompok yang berbeda dalam angkatan kerja.
Fakta pertama dan kedua kelihatannya saling bertentangan. Sebuah contoh numerik akan menjelaskan bahwa sebenarnya tidak terdapat pertentangan. Misalkan bahwa angkatan kerja terdiri dari 100 (juta) orang dan bahwa 5 orang menganggur setiap bulan. Asumsikan bahwa empat dari kelima orang tersebut menganggur selama tepat1 bulan, dan satu orang akan mengganggur selama 6 bulan. Asumsikan pula bahwa perekonomian berada pada keadaan stabil, sehingga situasi ini berulang setiap bulan selama bertahun-tahun.
Kita tanyakan terlebih dahulu berapa banyak orang yang menganggur pada suatu waktu, katakanlah, tanggal 30 september. Akan terdapat lima orang yang menganggur pada tanggal 1 september, dimana satu orang telah menganggur pada tanggal 1 agustus (dan telah menganggur selama 2 bulan), dan seterusnya, kembali kepada orang yang menganggur pada tanggal 1 april, yang masa penganggurannya selama 6 bulan akan berakhir pada tanggal 1 oktober. Secara keseluruhan, akan terdapat 10 orang yang menganggur, dan karenanya tingkat pengangguran adalah 10 persen. Dari kesepuluh orang ini, enam orang akan mengalami masa pengangguran selama 6 bulan sebelum mereka kembali bekerja. Ini konsisten dengan fakta kedua. Tetapi ingatlah bahwa kita mulai dengan lima orang yang menjadi penganggur selama setiap bulan, empat diantaranya tetap mengganggur selama hanya satu bulan. Dan itu konsisten dengan fakta pertama, bahwa hampir setiap orang menganggur pada bulan tertentu, tetap menganggur hanya untuk waktu yang singkat.
Fakta ketiga, variasi tingkat pengangguran pada berbagai kelompok yang berbeda dalam angkatan kerja, dapat diteliti dengan menggunakan hubungan antara tingkat pengangguran keseluruhan µi dari kelompok-kelompok dalam angkatan kerja. Tingkat pengangguran keseluruhan merupakan rata-rata tertimbang dari tingkat pengangguran antar kelompok :
µ = w1µ1 + w2µ2 + . . . + wnµn                                 (1)
Bobot wi merupakan bagian dari angkatan kerja sipil yang termasuk dalam kelompok tertentu, misalnya remaja kulit hitam.
Persamaan (1) menjelaskan bahwa tingkat pengangguran secara keseluruhan dapat merupakan tingkat pengangguran yang sama saja untuk berbagai kelompok yang berbeda dalam angkatan kerja, atau dapat menyembunyikan perbedaan yang dramatis pada tingkat pengangguran antar kelompok yang digolongkan, misalnya menurut usia, ras, dan jenis kelamin. Fakta 3 adalah bahwa tingkat pengangguran antar kelompok. Misalnya, pada bulan April 1986, tingkat pengangguran agregat rata-rata adalah 7,0 persen; pengangguran kulit putih adalah 6,1 persen dan pengangguran bukan kulit putih adalah 13,6 persen. Dalam persamaan (1) diperoleh :
7,0 % = (0,88) 6,1% + (0,12) 13,6%
dimana konstribusi dari kedua kelompok itu dalam angkatan kerja, berturut-turut adalah 88 persen dan 12 persen. Berikut ini analisis yang lebih terinci atas ketiga fakta pokok tentang anatomi pengangguran.
  • Arus Masuk dan Keluar dari Pengangguran
Seseorang bisa menganggur karena satu di antara empat alasan berikut : (1) orang itu mungkin baru masuk ke dalam angkatan kerja, mencari pekerjaan untuk pertama kalinya, atau orang yang masuk kembali. Seseorang yang kembali masuk ke angkatan kerja setelah tidak mencari pekerjaan selama lebih dari 4 minggu. (2) Seseorang mungkin meninggalkan pekerjaan untuk mencari pekerjaan lain dan mendaftarkan diri sebagai penganggur sambil mencari kerja. (3) Orang itu mungkin diberhentikan dari pekerjaannya. Definisi pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah skorsing tanpa pembayaran yang berlangsung atau diharapkan berlangsung selama lebih dari 7 hari berturut-turut, yang diprakarsai oleh majikan “secara hormat”. Syarat terakhir ini berarti bahwa pekerja itu tidak dipecat, tetapi mungkin akan kembali ke pekerjaannya yang lama jika permintaan atas produk perusahaan pulih kembali. Perusahaan biasanya akan menyesuaikan diri terhadap adanya penurunan permintaan barang yang diproduksinya dengan memberhentikan sebagian pekerja. Perusahaan mungkin pula menggilir pemberhentian diantara tenaga kerjanya sehingga individu pekerja yang diberhentikan bisa mengharapkan pemanggilan kembali, bahkan sebelum permintaan atas produk pulih kembali sepenuhnya. Pada sektor industry manufaktur, tampak bahwa lebih dari 75 persen para pekerja yang diberhentikan, kembali kepekerjaan dengan majikan mereka semula. (4) Pekerja mungkin kehilangan pekerjaan dimana tidak ada harapan untuk kembali lagi, entah karena di pecat atau karena perusahaan menutup usahanya.
  • Frekuensi Pengangguran
Frekuensi pengangguran adalah jumlah waktu rata-rata per periode dimana seorang pekerja menjadi penganggur. Ada dua faktor penentu yang pokok atas frekuensi pengangguran ini. Yang pertama adalah perubahan permintaan akan tenaga kerja antar perusahaan yang berbeda dalam perekonomian. Bahkan apabila permintaan agregat konstan, sebagian perusahaan akan mengalami pertumbuhan sebagian lainnya bangkrut. Perusahaan yang bangkrut akan kehilangan tenaga kerjanya, sedangkan perusahaan yang semakin maju akan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Semakin besar perubahan permintaan akan tenaga kerja ini antar perusahaan yang berbeda, akan semakin tinggi tingkat pengangguran. Lebih lanjut, perubahan permintaan agregat itu sendiri akan mempengaruhi perubahan permintaan akan tenaga kerja. Faktor penentu kedua adalah tingkat dimana para pekerja baru memasuki angkatan kerja. Semakin cepat para pekerja baru memasuki angkatan kerja akan semakin cepat pula laju pertumbuhan angkatan kerja dan dengan demikian akan menaikkan tingkat pengangguran alamiah.
Dalam pembangunan ekonomi ada tenaga-tenaga manusia yang disebut menganggur dan setengah menganggur. Tenaga kerja yang menganggur adalah mereka yang ada dalam umur angkatan kerja dan sedang mencari pekerjaan pada tingkat upah yang berlaku. Tenaga kerja yang tidak sedang mencari pekerjaan tidak digolongkan dalam angkatan kerja dan juga bukan pengangguran. Jumlah tenaga kerja yang menganggur atau yang sedikit sekali digunakan, cukup banyak di Negara – Negara yang padat penduduknya. Di Negara – Negara sedang berkembang pengangguran dapat digolongkan ke dalam 3 jenis yaitu :
  • Pengangguran yang kelihatan (visible underemployment)
  • Pengangguran tak kentara (disguised unemployment/invisible underemployment)
  • Pengangguran potensial (potensial nderemployment)
  1. Pengangguran yang Kelihatan (Visible Underemployment)
Visible Underemployment akan timbul apabila jumlah waktu kerja yang sungguh-sungguh digunakan lebih sedikit dari pada waktu kerja yang sanggup/disediakan untuk bekerja. Tegasnya, ini merupakan suatu pengangguran. Meskipun beberapa dari pengangguran itu terdapat di sektor-sektor kerajinan dan industri-industri sedang maupun besar, namun cukup penting bagi Negara-negara sedang berkembang karena adanya sifat-sifat khas kegiatan sektor pertanian. Guna lebih jelasnya Visible Underemployment ini dibagi dua yaitu pengangguran kronis dan penggangguran musiman (chronic underemployment dan seasonal underemployment). Pengangguran yang kronis terjadi meskipun pada puncak kegiatan pertanian jumlah waktu kerja potenisal yang tersedia melebihi jumlah waktu kerja yang benar-benar dipergunakan. Dengan demikian pengangguran yang kronis ini dapat dikerahkan untuk bekerja di sektor-sektor di luar pertanian tanpa mengurangi tenaga kerja yang sungguh-sungguh di perlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan di sektor pertanian. Sebaliknya tenaga kerja yang tergolong penganggur musiman di sektor pertanian tidak dapat di tarik ke sektor lain tanpa mempengaruhi produksi tindakan – tindakan yang memperbaiki/mengubah cara produksi. Jelasnya, pengangguran yang kentara timbul karena kurangnya kesempatan kerja.
  1. Pengangguran tak kentara (disguised unemployment/invisible underemployment)
Pengangguran tak kentara terjadi apabila para pekerja telah menggunakan waktu kerjanya secara penuh dalam suatu pekerjaan dapat ditarik (setelah ada perubahan –perubahan sederhana dalam organisasai atau metode produksi tetapi tanpa suatu tambahan yang besar) ke sektor-sektor/pekerjaan lain tanpa mengurangi output. Sebagai misal kalau pada saat panen atau tanam padi, tetapi caranya lebih di organisir, maka pengurangan beberapa tenaga kerja pada saat giat-giatnya pekerjaan tersebut tidak akan mengurangi/menurunkan output. Hal ini terjadi jika juga di daerah pedesaan dimana tenaga-tenaga yang mengganggur tertarik pada kegiatan-kegiatan jasa perdagangan. Di daerah pedesaan dengan tingkat upah yang rendah dan cukup bahan makanan, maka tenaga kerja bekerja di bawah kapasitas normal, sehingga memungkinkan pengurangan tenaga kerja tanpa mengurangi jumlah output; hanya harus di sertai dengan perbaikkan dalam tingkat kesehatan melalui perbaikan bahan makanan.
  1. Pengangguran Potensial (potensial nderemployment)
Pengangguran potensial merupakan suatu perluasan dari pada disguised unemployment dalam arti bahwa para pekerja dalam suatu sektor dapat ditarik dari sektor tersebut tanpa mengurangi output hanya harus dibarengi dengan perubahan-perubahan fundamental dalam metode-metode produksi yang memerlukan pembentukkan capital yang berarti. Kemungkinan penarikan tenaga kerja yang secara potensial menganggur itu untuk kegiatan-kegiatan yang produktif, terdapat baik di sektor pertanian maupun sektor industri. Kemungkinan penyebarannya di sektor pertanian terbukti dari tingkat upah atau tingkat produktivitasnya yang diperlukan mungkin sekali memerlukan perluasan daerah penanaman, penggantian tenaga-tenaga manusia dengan mesin. Dengan penarikan tenaga kerja dari sektor pertanian itu perlu diciptakan lapangan kerja disektor yang lain. Contoh untuk sektor-sektor di luar pertanian ialah digantikannya industri-industri rumah tangga atau industri-industri kecil dengan industri-industri sedang maupun industri besar.
  1. Memanfaatkan Tenaga-Tenaga yang Menganggur
Tenaga-tenaga yang menganggur merupakan persediaan faktor produksi yang dapat dikombinasikan dengan faktor-faktor produksi lain untuk meningkatkan output di Negara – Negara sedang berkembang. Persediaan tenaga kerja ini jelas lebih banyak terdapat di daerah-daerah yang padat penduduknya. Masalah pemanfaatan tenaga menganggur ini menyangkut baik segi penawaran maupun segi permintaan. Untuk memperluas permintaan akan tenaga kerja diperlukan adanya pengorganisasian tenaga kerja seperti halnya dengan capital. Pembangunan masyarakat desa mungkin merupakan jalan yang baik, karena hanya diperlukan capital yang relative tidak besar. Suatu keuntungan penggunaan tenaga-tenaga yang mengganggur secara musiman yakni tidak mengurangi tenaga-tenaga yang diperlukan untuk mengadakan panenan maupun penanaman. Industri – industry kecil juga mungkin sekali akan menyerap tenaga-tenaga yang menganggur karena musim atau memang secara kronis.
Masalah perluasan penawaran tenaga kerja menimbulkan akibat-akibat yang lebih luas lagi. Seperti dinyatakan oleh Profesor Leibenstein, kemampuan untuk menghasilkan lebih banyak tergantung pada kalori yang dimiliki oleh tenaga kerja itu. Sehingga tidak begitu mudah nampaknya untuk menarik tenaga kerja dari sektor pertanian yang kemudian ini akan diikuti oleh penarikan bahan makanann dari sektor pertanian pula seperti dikemukakan oleh Profesor Ragnar Nurkse. Ketidaksempurnaan pasar dapat menghambat alokasi sumber-sumber / faktor-faktor produksi secara lebih efisien, jika dalam masyarakat itu terdapat suatu susunan sosial yang kaku , kurang adanya spesialisasi, adanya ketidakstabilan faktor-faktor produksi. Masalah-masalah ini dapat diatasi dengan suatu perancangan dan pengelolaan yang baik, serta diadakan survey yang mendalam mengenai kemungkinan-kemungkinan investasi baru yang nantinya akan dapat mengubah sifat-sifat sosial dan kebudayaan.
  • Perbedaan Antara Pengangguran Friksional dengan Pengangguran Struktural
Karena banyaknya perbedaan, maka batasan antara pengangguran fruksional dengan pengangguran struktural menjadi kabur. Pengangguran struktural sebenarnya adalah pengangguran friksional jangka panjang. Sebagai gambaran, kita lihat suatu perubahan yang memerlukan realokasi tenaga kerja dari satu sektor ke sektor lainnya. Jika relokasi itu terjadi dengan cepat, kita sebut pengangguran friksional, tetapi jika relokasi itu terjadi secara lambat kita sebut pengangguran struktural.
Ciri pokok pengangguran friksional dan pengangguran structural adalah tersedianya pekerjaan yang lowong dan belum terisi oleh setiap orang yang menganggur. Dalam kasus pengangguran friksional murni, ada titik temu antara lowongan pekerjaan dengan mereka yang memilih pekerjaan. Satu-satunya masalah adalah pemilih pekerjaan belum ditempatkan pada lowongan yang ada. Dalam kasus pengangguran struktural, antara lowongan pekerjaan dengan pemilih pekerjaan tidak ada titik temu, dari satu segi atau lebih relevannya seperti jenis pekerjaan, industry, wilayah ataupun kebutuhan keterampilannya.
Jumlah pengangguran friksional ditambah dengan tingkat pengangguran struktural, adalah sama dengan tingkat pengangguran natural, seperti yang telah dibahas sebelumnya.
  • Pengangguran Defisiensi – Permintaan
Pengangguran yang terjadi karena permintaan total tidak cukup untuk membeli semua output yang bisa diproduksi oleh tenaga kerja yang dipekerjakan penuh, kita sebut dengan pengangguran defisiensi-permintaan (deficient-demand unemployment). Pengangguran ini terjadi karena adanya senjang resesi. Sebagai akibatnya, pekerjaan yang tersedia lebih sedikit dari pada orang-orang yang menganggur. Pengangguran defisiensi-permintaan dapat diukur dengan menghitung jumlah orang yang semestinya dipekerjakan pada tingkat pendapatan potensial (Jadi, angka ini merupakan imbangan kesempatan kerja terhadap senjang resesi). Jika pengangguran defisiensi-permintaan sama dengan nol, berarti tersedia kesempatan kerja bagi setiap orang yang menganggur. Dalam situasi demikian, pengangguran berlangsung baik karena alasan friksional maupun alasan struktural. Ini adalah tingkat pengangguran natural.
Teori pendapatan nasional mencari penjelasan tentang sebab dan cara mengatasi pengangguran yang melebihi pengangguran friksional dan pengangguran struktural. Penggunaan tenaga kerja penuh (full employment) tidak berarti angka pengangguran sama dengan nol, tetapi berarti bahwa semua pengangguran adalah friksional atau struktural.
Teori pendapatan nasional mencoba menjelaskan tentang penggangguran defisiensi-permintaan yang dikaitkan dengan naik-turunnya pendapatan nasional total suatu Negara, yang bergerak sekitar pendapatan potensialnya.
  • Pengangguran Upah Riel
Pengangguran yang disebabkan karena terlalu tingginya upah riel tersebut pengangguran upah riel (riel wage unemployment) atau kadang-kadang disebut pengangguran klasik (classical unemployment). Istilah yang disebut terakhir digunakan karena banyak ekonom, yang oleh Keynes dijuluki ekonom klasik, yakni bahwa pengangguran pada tahun 1930-an disebabkan oleh tingginya upah riel. Untuk mengatasi masalah pengangguran ini, disarankan menurunkan tingkat upah. Keynes berpendapat bahwa pengangguran itu disebabkan oleh terlalu kecilnya permintaan agregat, dan penyelesaian yang disarankan adalah meningkatkan permintaan bukan memotong upah. Penganut Keynes memenangkan perdebatan itu, dan sekarang ada semacam persetujuan umum bahwa pengangguran pada decade 1930-an disebabkan oleh kurangnya permintaan agregat ketimbang terlalu tingginya upah riel.
Karena perdebatdan pada decade 1930-an itu diliputi oleh emosional yang kuat, banyak penganut Keynes modern telah menolak keyakinan bahwa setiap pengangguran bisa disebabkan oleh upah riel yang tinggi. Akan tetapi, ada masalah lain bahwa pengangguran yang ada sekarang ini di Eropa Barat dan Negara-negara lain, apabila ditelusuri ternyata disebabkan oleh tingkat upah riel yang berlebihan.
Sejauh ini, kita telah menggunakan istilah upah riel yang dimaksudkan adalah saya beli upah nominal. Daya beli ini diukur dengan cara mendeflasikan upah nominal dengan Indeks Harga Konsumen. Pada bagian ini, kita akan membahas biaya riel yang dikelurkan perusahaan dalam mempekerjakan tenaga kerja. Biaya ini kita sebut dengan upah produk riel. Biaya nominal bagi seorang majikan adalah gaji sebelum pajak, tunjangan tambahan seperti iuran dana pensiun dan setiap pajak gaji dan upah pemerintah seperti iuran perusahaan untuk jaminan sosial. Upah produk riel adalah upah biaya nominal selama periode waktu tertentu, misalnya per jam tenaga kerja, dibagi dengan nilai output yang dihasilkan oleh tenaga kerja itu selama periode waktu yang sama. Jadi misalnya, jika diperlukan biaya sebesar $ 20 untuk mengupah tenaga kerja yang menghasilkan output bernilai $ 30, maka dapat dikatakan bahwa upah produk rielnya adalah 0,666 yang artinya bahwa biaya tenaga kerja menyerap dua pertiga dari nilai output.
Upah produk riel yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi kesempatan kerja, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Pertama, kita akan melihat pengaruhnya dalam jangka pendek. Pada saat kapanpun banyak industri yang memiliki sejumlah pabrik, mulai dari pabrik yang menggunakan teknologi tua dan hanya mampu sedikit melampaui biaya-biaya variabelnya, hingga pabrik yang menggunakan teknologi canggih dan mampu menutup semua biaya variabel dengan sisa keuntungan yang besar. Suatu kenaikkan upah produk riel sebesar 10 persen akan berarti bahwa beberapa pabrik itu tidak mampu lagi menutup biaya-biaya variabelnya, dan tentu saja pabrik itu akan gulung tikar. Misalnya jika sebuah perusahaan memberikan upah $700 dan mengeluarkan biaya variabel lain $250 untuk setiap penjualan $1000, maka produksinya masih menguntungkan karena masih ada sisa $50 dari setiap penjualannya yang $1000 itu untuk pengembalian atas modal yang diinvestasikan. Jika upah produk naik, sehingga $770 harus dibayarkan sebagai upah untuk setiap penjualan $1000, maka tentu perusahaan tersebut akan tutup karena untuk menutup biaya variabel saja tidak cukup. Para pekerja pabrik kemudian akan kehilangan pekerjaannya. Contoh ini juga berlaku untuk sistem ekonomi secara keseluruhannya.
Kenaikan upah produk riel pada keseluruhan sistem ekonomi, dengan asumsi faktor-faktor lain tetapi berarti bahwa beberapa pabrik dan perusahaan tidak akan mampu lagi menutup biaya-biaya variabel mereka sehingga akan gulung tikar. Jika perusahaan itu melakukannya,, tingkat pengangguran akan naik.
Sekarang kita lihat suatu periode waktu yang lebih panjang, permintaan tenaga kerja disesuaikan dengan upah produk riel dengan mengganti mesin-mesin lama dengann mesin-mesin baru yang memerlukan rasio modal tenaga kerja (capital labor ratio) yang berbeda. Dalam jangka panjang, perusahaan akan memakai teknologi yang menggantikan mahalnya tenaga kerja dengan modal yang lebih murah, dan ini akan menaikkan jumlah pengangguran upah riel. Jadi, apabila upah riel dalam suatu sistem perekonomian terlalu tinggi, akan terjadi kesenjangan stuktural antara tenaga kerja dengan persediaan modal. Ketidaksesuaian ini akan muncul sebagai pengangguaran, jika persediaan modal beroperasi pada kapasitas penuh, masih akan tetap terdapat tenaga kerja yang menganggur. Pengangguran kemudian akan memaksa upah rielnya untuk turun, sampai semua perusahaan memperkerjakan semua tenaga kerja yang ada. Alternatif lainnya adalah, pengangguran teknologi baru dapat lebih menguntungkan dengan menggunakan tenaga kerja yang menganggur meskipun hal itu memberikan upah produk riel yang tinggi.
  • Beberapa Tujuan Kebijakan Pemerintah
Untuk menghindari efek-efek buruk fsri pengangguran pemerintah perlu secara terus menerus berusaha mengatasi masalah pengangguran. Uraian berikut menerangkan beberapa tujuan dari kebijakan pemerintah dalam mengatasi masalah pengangguran :
  1. Tujuan Bersifat Ekonomi
Tujuan untuk mengatasi pengangguran didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat ekonomi. Dalam hal ini ada tiga pertimbangan utama untuk menyediakan lowongan pekerjaan baru, untuk meningkatan taraf kemakmuran masyarakat dan memperbaiki kesamarataan pembagian pendapatan.
  1. Menyediakan Lowongan Pekerjaan
Kebijakan pemerintah untuk mengatasi pengangguran merupakan usaha yang terus menerus. Dengan perkataan lain, ia merupakan usaha dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka panjang usaha mengatasi pengangguran diperlakukan karena jumlah penduduk yang selalu bertambah akan menyebabkan pertambahan tenaga kerja yang terus menerus. Maka, untuk menghindari masalah pengangguran yang semakin serius, tambahan lowongan pekerjaan yang cukup perlu disediakan dari tahun ke tahun.
Dalam jangka pendek pengangguran dapat menjadi bertambah serius, yaitu ketika berlaku kemunduran atas pertumbuhan ekonomi yang lambat. Dalam masa seperti itu kesempatan kerja bertambah dengan lambat dan pengangguran meningkat. Menghadapi keadaan yang seperti ini usaha-usaha pemerintah untuk mengatasi pengangguran perlu ditingkatkan.
  1. Meningkatkan Taraf Kemakmuran Masyarakat
Kenaikan kesempatan kerja dan pengurangan pengangguran sangat berhubungan dengan pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat. Kenaikkan kesempatan kerja menambah produksi nasional dan pendapatan nasional. Perkembangan ini selanjutnya akan menambah kemakmuran masyarakat. Ukuran kasar dari kemakmuran masyarakat adalah pendapatan perkapita yang diperoleh dengan cara membandingkan pendapatan nasional dengan jumlah penduduk. Dengan demikian kesempatan kerja yang semakin meningkat dan pengangguran yang semakin berkurang bukan saja menambah pendapatan perkapita. Melalui perubahan ini kemakmuran masyarakat akan bertambah.
  1. Memperbaiki Pembagian Pendapatan
Pengangguran yang semakin tinggi menimbulkan efek yang buruk kepada kesamarataan pembagian pendapatan. Pekerja yang menganggur tidak memperoleh pendapatan. Maka semakin besar pengangguran, semakin banyak golongan tenaga kerja yang tidak mempunyai pendapatan. Seterusnya pengangguran yang terlalu besar cenderung untuk mengekalkan atau menurunkan upah golongan berpendapatan rendah. Sebaliknya, pada kesempatan kerja yang tinggi tuntutan kenaikan upah akan semakin mudah di peroleh. Dari kecenderungan ini dapat disimpulkan bahwa usaha menaikkan kesempatan kerja dapat juga digunakan sebagai alat untuk memperbaiki pembagian pendapatan dalam masyarakat.
  1. Tujuan Bersifat Sosial dan Politik
Kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah pengangguran juga berusaha untuk mencapai beberapa tujuan yang bersifat sosial dan politik. Tujuan untuk mengatasi masalah sosial dan politik tidak kalah pentingnya dengan tujuan yang bersifat ekonomi. Tanpa kestabilan sosial dan politik, usaha-usaha untuk mengatasi masalah ekonomi tidak dapat dicapai dengan mudah.
  1. Meningkatkan Kemakmuran Keluarga dan Kestabilan Keluarga
Ditinjau dari segi mikro, tujuan ini merupakan hal yang sangat penting. Apabila kebanyakan anggota dalam suatu rumah tangga tidak mempunyai pekerjaan, berbagai masalah akan timbul. Pertama, keluarga tersebut mempunyai kemampuan yang terbatas untuk melakukan perbelanjaan. Maka secara langsung pengangguran mengurangi taraf kemakmuran keluarga. Seterusnya, pengangguran mengurangi kemampuan keluarga untuk membiayai pendidikan anak-anaknya “Drop-out” di sekolah – sekolah sengat berhubungan erat dengan masalah kemiskinan. Efek psikologi ke atas rumah tangga seperti merasa rendah diri, kehilangan kepercayaan diri dan perselisihan dalam keluarga, merupakan masalah lain yang ditimbulkan oleh pengangguran.
  1. Menghindari Masalah Kejahatan
Disatu pihak pengangguran menyebabkan para pekerja kehilangan pendapatan . Akan tetapi di lain pihak, ketiadaan pekerjaan tidak akan mengurangi kebutuhan untuk berbelanja. Sewa rumah harus di bayar, keluarga perlu melakukan pengeluaran untuk makanan dan biaya sekolah anak-anak mesti harus dibayar. Sering kali yaitu apabila tiada tabungan dan sumber pendapatan lain, pengangguran menggalakkan kegiatan kejahatan. Terdapat keterkaitan yang erat diantara masalah kejahatan dan masalah pengangguran, semakin tinggi pengangguran, semakin tinggi kasus kejahatan. Dengan demikian usaha mengatasi pengangguran secara tidak langsung menyebabkan pengurangan dalam kejahatan.
  1. Mewujudkan Kestabilan Politik
Kestabilan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang diperlukan untuk menaikkan taraf kemakmuran masyarakat memerlukan kestabilan politik. Tanpa kestabilan politik tidak mungkin sesuatu Negara dapat mencapai pertumbuhan cepat dan terus menerus. Pengangguran menyebabkan masyarakat tidak merasa puas dengan pihak pemerintah. Mereka merasa pemerintah tidal melakukan tindakan yang cukup untuk masyarakat. Dalam perekonomian yang tingkat penganggurannya tinggi masyarakat seringkali melakukan demonstrasi dan mengemukakan kritik ke atas pemimpin-pemimpin pemerintah. Hal-hal seperti itu akan menimbulkan halangan untuk melakukan investasi dan mengembangkan kegiatan ekonomi. Sebagai akibatnya perkembangan ekonomi yang lambat semakin berkepanjangan dan keadaan pengangguran semakin buruk.
KESIMPULAN
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang akan mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat pendapatan nasional baru dari segi kuantitas atau jumlah saja. Tenaga kerja bersifat heterogen baik dilihat dari segi umur, kemampuan kerja, kesehatan, pendidikan, jenis kelamin, keahlian dan sebagainya. Hanya penduduk yang berupa tenaga kerja yang dapat dianggap sebagai faktor produksi. Tenaga kerja adalah penduduk pada usia kerja yaitu antara 15 sampai 64 tahun. Berbicara tenaga kerja tidak terlepas dari pengangguran.
Definisi ekonomi tentang pengangguran tidak identik dengan tidak (mau) bekerja. Seseorang baru dikatakan menganggur bila dia ingin bekerja dan telah berusaha mencari kerja, namun tidak mendapatkannya. Terdapat jenis-jenis pengangguran, yaitu 1) Pengangguran Friksional (Frictional Unemployment), 2) Pengangguran Struktural (Strutural Unemployment), 3) Pengangguran Siklis (Cyclical Unemployment), 4) Pengangguran Musiman (Seasonal Unemployment) dan 5) Pengangguran Teknologi (Technology Unemployment). Jenis pengangguran berdasarkan cirinya : 1) Pengangguran Terbuka, 2) Pengangguran Tersembunyi, 3) Pengangguran Bermusim, 4) Setengah Menganggur. Beberapa kebijakan pemerintah dalam mengatasi masalah pengangguran, yaitu tujuan bersifat ekonomi, menyediakan lowongan pekerjaan, meningkatkan taraf kemakmuran masyarakat, memperbaiki pembagian pendapatan, tujuan bersifat sosial dan politik, meningkatkan kemakmuran keluarga dan kestabilan keluarga, menghindari masalah kejahatan, dan mewujudkan kestabilan politik.
DAFTAR PUSTAKA
Chandra, A., & Glassburner, B. (1985). Teori dan Kebijaksanaan Ekonomi Makro. Jakarta: LP3S.
Dornbusch, R., & Fischer, S. (2008). Makroekonomi. Jakarta: Erlangga.
Lipsey, R. G. (1993). Pengantar Makroekonomi. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama.
Rahardja, P., & Manurung, M. (2008). Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi & Makroekonomi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Subandi. (2011). Ekonomi Pembangunan. Bandung: Alfabeta.
Sukirno, S. (2005). Makroekonomi Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sukirno, S. (2006). Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


Sumber : https://mutiaraelsa.wordpress.com/2015/03/28/tenaga-kerja-dan-pengangguran/

No comments:

Post a Comment

Ceramah Online