TENAGA KERJA DAN PENGANGGURAN
PENDAHULUAN
Sejauh ini kita
memperhatikan peranan tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi yang akan
mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat pendapatan nasional baru dari segi
kuantitas atau jumlah saja. Sementara ini kita beranggapan bahwa kalau jumlah
tenaga yang dipakai dalam usaha produksi meningkat, maka jumlah produksi yang
bersangkutan juga meningkat. Dengan kata lain, kalau tidak ada peningkatan
jumlah tenaga kerja maka jumlah produksi akan tetap. Pernyataan yang demikian
ini, tidak dapat seluruhnya dianggap benar, karena walaupun jumlah tenaga kerja
itu menjadi lebih baik, maka dapat terjadi bahwa tingkat produksi akan
meningkat pula.
Selama kita
beranggapan bahwa tingkat produksi hanya tergantung pada jumlah tenaga kerja,
berarti kita menganggap bahwa tenaga kerja itu bersifat homogen. Sedangkan pada
kenyataannya tenaga kerja itu sangat heterogen baik dilihat dari segi umur,
kemampuan kerja,kesehatan, pendidikan, jenis kelamin, keahlian dan sebagainya.
Jadi agar analisa kita mengenai peranan tenaga kerja bagi pembangunan ekonomi
menjadi lebih teliti dan baik, maka kita harus melihat tenaga kerja ini sebagai
faktor produksi yang heterogen. Oleh karena itu dalam merencanakan pertumbuhan
ekonomi dalam hubungannya dengan penggunaan tenaga kerja, juga diperlukan
adanya perencanaan tenaga kerja (manpower planning) yang tepat. Suatu Negara
harus mampu memperkirakan misalnya berapa jumlah tenaga ahli teknik, ahli
bangunan, tenaga dokter, tenaga dosen, tenaga guru, tenaga tukang kayu,
akuntan, sekertaris, untuk lima sampai sepuluh tahun yang akan datang.
Masalah perencanaan
tenaga kerja ini tidak akan dibahas saat ini. Sedangkan masalah bagaimana
meningkatkan mutu dan kualitas tenaga kerja ini yang akan dibahas sekarang.
Seperti kita ketahui, kalau kita bicara tentang kualitas tenaga kerja, kita
berhubungan dengan apa yang kita sebut sebagai “human capital” cirri khusus
yang dimiliki oleh faktor produksi ini ialah tidak dapat hilang atau berkurang
apabila faktor produksi itu dipakai, dimanfaatkan atau dijual. Dengan semakin
sering faktor produksi itu dipakai bukan kadarnya semakin berkurang tetapi
justru sebaliknya dan bahkan nilainya menjadi semakin tinggi pula.
Sebelum kita melihat
bagaimana meningkatkan kualitas, perlu kita ketahui terlebih dahulu apa yang
menjadi tujuan dari faktor produksi tenaga kerja itu. Dalam membahas tenaga
kerja tidak pernah lepas dari pengangguran karena keduanya saling berhubungan.
Meningkatnya tingkat
pengangguran tidak hanya disebabkan oleh penurunan kesempatan tenaga kerja, namun
juga akibat meningkatnya jumlah angkatan kerja. Peningkatan angkatan kerja
mengandung makna bahwa pengangguran kadang-kadang bertambah meskipun pada saat
yang sama kesempatan kerja juga bertambah. Pembahasan kesempatan kerja dan
pengangguran memberikan konsep lain, yaitu penggunaan tenaga kerja penuh (full
employment). Penggunaan tenaga kerja penuh tidak berarti pengangguran nol.
Dalam perekonomian selalu terdapat orang yang keluar masuk pekerjaan tertentu
dan selalu terjadi perubahan dalam kesempatan kerja. Anggota-anggota baru
memasuki angkatan kerja, sebagian orang berhenti dari pekerjaan mereka,
sementara yang lainnya lagi keluar karena di pecat. Mungkin diperlukan
sementara waktu bagi orang-orang untuk mencari pekerjaan baru. Maka, setiap
waktu selalu ada pengangguran yang disebabkan karena keluar-masuknya tenaga
kerja yang bisa terjadi dalam setiap perekonomian.
Aspek sosial dan
politik yang terkandung didalam tingkat pengangguran sungguh besar. Pemerintah
di maki bila tingkat pengangguran tinggi dan mendapat pujian bila tingkat
tersebut rendah. Sedikit sekali kebijakan makro ekonomi yang direncanakan tanpa
mempertimbangkan pengaruh kebijakan tersebut terhadap pengangguran.
Pengangguran
mengakibatkan pemborosan ekonomi dan penderitaan manusia. Pemborosan ekonomi
sudah jelas. Usaha manusia adalah komoditi perekonomian yang paling tidak tahan
lama. Jika suatu perekonomian dalam keadaan penggunaan tenaga kerja penuh,
dengan angkatan kerja konstan sebesar 120 juta orang yang ingin bekerja pada
tahun1986, maka jasa mereka haruslah dimanfaat kanpada tahun 1986 atau akan
terbuang sia-sia. Seandainya saja hanya dari 108 juta orang saja yang
dimanfaatkan karena 10 persen dari angkatan kerja tidak digunakan, berarti
output potensial dari 12 juta orang telah hilang untuk selamanya. Dalam suatu
perekonomian yang outputnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
setiaporang, setiap pemborosan output potensial tidaklah dikendaki dan
pemborosan dalam jumlah besar akan bersifat tragis.
Biaya pengangguran
manusia juga sudah jelas. Kesulitan dan penderitaan yang berat dapat disebabkan
oleh masa pengangguran yang berkepanjangan. Semangat orang bisa hancur karena
terlalu lama menginginkan pekerjaan namun tidak mampu memperolehnya.
Kliminalitas, perceraian dan kegelisahan social pada umumnya meningkat seiring
dengan pengangguran.
Masalah pengangguran,
yang menyebabkan tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat
tidak mencapai potensinya yang maksimal, adalah masalah pokok makro ekonomi
yang paling utama. Untuk mengetahui tingkat pengangguran yang wujud pada suatu
waktu tertentu perlulah terlebih dahulu diketahui jumlah tenaga kerja atau
angkatan kerja yang ada dalam perekonomian. Jumlah tenaga kerja tidak boleh
disamakan dengan jumlah penduduk. Sebagian dari penduduk tidak dapat
digolongkan sebagai tenaga kerja karena mereka masih terlalu muda atau sudah
terlalu tua untuk dapat bekerjadengan efektif. Golongan penduduk ini tidak
termasuk ke dalam angkatan kerja.
Orang yang menganggur
di definisikan sebagai orang yang tidak bekerja dan yang (1) secara aktif
mencari pekerjaan selama 4 minggu sebelumnya, atau (2) sedang menunggu
dipanggil kembali untuk suatu pekerjaan setelah diberhentikan, atau (3) sedang
menunggu untuk melapor atas pekerjaan yang baru dalam waktu 4 minggu. Syarat
sedang mencari pekerjaan dalam 4 minggu sebelumnya adalah untuk mencoba
meyakinkan bahwa orang tersebut secara aktif tertarik pada suatu pekerjaan dan
tidak semata-mata mencerminkan keinginan jika suatu pekerjaan kebetulan muncul.
Pengangguran dapat
menyebabkan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri dan perselisihan dalam
keluarga. Juga para penganggur akan kehilangan kemahiran apabilamenganggur
terlalu lam dan ini akan lebih menyulitkan lagi kepada mereka untuk memperoleh
pekerjaan. Bagi masyarakat secara keseluruhan pengangguran dapat menimbulkan
masalah criminal, mengurangi tingkat kesehatan masyarakat (karena tidak ada
uang untuk membeli makan yang cukup).
PEMBAHASAN
Pembangunan ekonomi
banyak dipengaruhi oleh hubungan antara mannusia dengan faktor-faktor produksi
yang lain dan juga sifat-sifat manusia itu sendiri. Yang kita maksud dengan human resources disini ialah penduduk sebagai
suatu keseluruhan. Dari segi penduduk sebagai faktor produksi, maka tidak semua
penduduk dapat bertindak sebagai faktor produksi. Hanya penduduk yang berupa
tenga kerja (man power) yang dapat dianggap sebagai faktor produksi. Tenaga
kerja adalah penduduk pada usia kerja yaitu antara 15 sampai 64 tahun. Penduduk
dlam usia kerja ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu angkatan kerja (labor
force) dan bukan angkatan kerja.
Yang dimaksud dengan
angkatan kerja (labor force) adalah penduduk yang bekerja dan penduduk yang
belum bekerja, namun siap untuk bekerja atau sedang mencari pekerjaan pada
tingkat upah yang berlaku. Kemudian penduduk yang bekerja adalah mereka yang
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa untuk memperoleh
penghasilan, baik bekerja penuh maupun tidak bekerja penuh. Dinegara-negara yan
sedang berkembang batas umur angkatan kerja lebih rendah (di Indonesia 10 tahun
keatas) daripada di Negara-negara yang telah maju (15 tahun keatas). Demikian
pula kuantitas dan kualitas angkatan kerja lebih rendah di Negara-negara sedang
berkembang daripada di Negara-negara maju karena sebagian besar penduduk di
Negara sedang berkembang berusia muda.
Dibanyak Negara
penduduk yang digolongkan sebagai angkatan kerja adalah penduduk yang berumur
diantara 15-59 tahun dan dibeberapa Negara meliputi penduduk yang berumur 15-64
tahun. Tetapi tidak semua penduduk yang berada dalam lingkungan umur tersebut
dapat dipandang sebagai tenaga kerja. Apabila mereka tidak bekerja dan tidak
mencoba untuk mencari pekerjaan maka, walaupun umur mereka adalah dalam
lingkungan umur diatas, mereka tidak termasuk dalam golongan angkatan kerja.
Golongan masyarakat seperti itu antara lain adalah pelajar sekolah menengah dan
sekolah-sekolah lain sebelum tingkat universitas, mahasiswa dan ibu rumah
tangga. Dengan demikian, jumlah tenaga kerja atau angkatan kerja pada suatu waktu
tertentu adalah banyaknya jumlah penduduk yang berada dalam lingkungan umur
diatas yang bekerja atau sedang mencari pekerjaan.
Tujuan utama faktor
produksi ini mau dikerjakan adalah guna mendapatkan balas jasa yang disebut
upah dan gaji sebagai harga dari tenaga kerja tersebut. Dengan kata lain
penawaran tenaga kerja akan tergantung pada tinggi rendahnya tingkat upah.
Semakin tinggi tingkat upah di pasar tenaga kerja akan semakin tinggi pula
jumlah penawaran tenaga kerja dan demikian sebaliknya.
Dalam hubungan ini
perlu dikemukakan bahwa hubungan tingkat upah dengan penawaran tenaga kerja
perseorangan berbeda dengan hubungan antara tingkat upah dan penawaran tenaga
kerja secara keseluruhan. Hubungan antara tingkat upah dan penawaran tenaga
kerja perorangan seiring ditunjukan oleh kurva penawaran tenaga kerja yang
berbelok ke belakang (back ward bending supply curve). Ini berarti bahwa
setelah tingkat upah tertentu, dengan naiknya tingkat upah, tidak akan
mendorongseseorang untuk bekerja lebih lama atau lebih giat karena pada tingkat
pendapatan yan relatif tinggi orang ingin hidup lebih santai.
Tetapi untuk
perekonomian sebagai keseluruhan, semakin tingginya tingkat upah masih akan
mendorong semakin banyak orang untuk masuk ke pasar tenaga kerja. Orang-orang
yang tadinya tidak mau bekerja pada tingkat upah yang rendah akan bersdia untuk
bekerja dan ikut mencari pekerjaan pada tingkat upah yang lebih tinggi. Dilain
pihak dengan perkembangannya peradaban nasional, maka peranan tingkat upah yang
rendah akan bersedia untuk bekerja dan ikut mencari pekerjaan pada tingkat upah
yang lebih tinggi. Maka peranan tingkat upah dalam mempengaruhi kemauan orang
untuk bekerja masih cukup besar, terutama dengan adanya “efek pamer” maka orang
akan tidak merasa bahwa kebutuhannya telah terpuaskan seluruhnya. Dengan
dipenuhinya suatu kebutuhan, maka kebutuhan baru akan muncul lagi. Begitu
seterusnya, sehingga dapat dikatakan bahwa kebutuhan itu memang tidak terbatas
jumlahnya.
Apa yang telah
diuraikan diatas adalah dalam hubungannya dengan usaha kita untuk meningkatkan
pendapatkan pendapatan nasional lewat peningkatan jumlah tenaga kerja yang
bersedia untuk diikutkan dalam kegiatan produksi.peningkatan tersedianya jumlah
tenaga kerja dalam bagi proses produksi itu dapat terlihat baik dari jumlah
tenaga kerja dalam arti orang ataupun dalam jumlah hari kerja orang (Mondays)
maupun jam kerja orang (man hours). Jumlah hari kerja orang adalah jumlah
masing-masing hari kerja dari setiap orang yang bekerja. Kalau untuk menyelesaikan
suatu pekerjaan diperlukan 3 orang, A, B dan C; dan A bekerja 5 hari, B 4 hari
dan C 6 hari, maka untuk pekerjaan itu diperlukan 15 hari orang. Dengan kata
lain pekerjaan itu dapat diselesaikan oleh 1 orang dalam 15 hari atau oleh 15
orang dalam 1 hari atau 3 oran dalam 5 hari. Dapat saja terjadi jumlah orang
yang bekerja tetap, tetapi jumlah hari kerja orang atau jam kerja orangnya
bertambah.
Sekarang bagaimana
masalahnya supaya jumlah jam kerja yang disediakan untuk bekerja itu meningkat.
Untuk itu perlu diketahui bahwa tersedianya jam kerja untuk proses produksi itu
dipengaruhi oleh kemauan dan kemampuan untuk bekerja. Orang mau bekerja tetapi
tidak mampu bekerja sama artinya bagi peningkatan produksi dengan orang yang
mampu bekerja tetapi tidak mau bekerja. Oleh karena itu kita harus sanggup
mencari faktor-faktor apa yang dapat meningkatkan kemauan dan kemampuan untuk
bekerja seseorang. Teori ekonomi sudah menemuka bahwa kemauan seseorang untuk
bekerja itu lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat upah yang ada.
Semakin tinggi tingkat
upah, semakin tinggi kemauan seseorang untuk bekerja atau menawarkan tenaga
kerjanya. Dilain pihak kemampuan untuk bekerja seseorang terutama sekali
dipengaruhi oleh keadaan kesehatannya dan kecakapannya, keterampilan dan keahliannya.
Selanjutnya tingkat kesehatan dipengaruhi oleh keadaan gizi dan lingkungannya,
sedangkan kecakapan, keterampilan dan keahlian dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan baik formal maupun tidak formal seperti latihan kerja (on the job
training).
TENAGA KERJA DALAM PRODUKSI
PERTANIAN
- Tenaga Kerja Sebagai Faktor
Produksi
Pembicaraan mengenai
tenaga kerja dalam pertanian di Indonesia harus dibedakan kedalam persoalan
tenaga kerja dalam usahatani kecil-kecilan (usahatani pertanian rakyat) dan
persoalan tenaga kerja dalam perusahaan pertanian yang besar-besar yaitu
perkebunan, kehutanan, peternakan dan sebagainya. Pembedaan ini penting karena
apa yang dikenal sebagai tenaga kerja dalam usahatani tidaklah sama
pengertiannya secara ekonois dengan pengertian tenaga kerja dalam
perusahaan-perusahaan dalam perkebunan. Dalam usahatani sebagian besar tenaga
kerja berasal dari keluarga besar petani sendiri yang terdiri atas ayah sebagai
kepala keluarga, istri dan anak-anak petani. Anak-anak berumur 12 tahun
misalnya, sudah dapat merupakan tenaga kerja yang produktif bagi usahatani.
Mereka dapat membantu mengatur pengairan, mengangkut bibit atau pupuk ke sawah
atau membantu penggarapan sawah. Selain itu anak-anak petani dapat mengembala kambing
atau sapi, itik atau menangkap ikan dan lain-lain yang menyumbang pada produksi
pertanian keluarga. Tenaga kerja yang berasal dari keluarga petani ini
merupakan sumbangan keluarga pada produksi pertanian secara keseluruhan dan
tidak pernah dinilai dalam uang. Memang usahatani dapat sekali-kali membayar
tenaga kerja tambahan misalnya dalam tahap penggarapan tanah baik dalam bentuk
pekerjaan ternak maupun tenaga kerja langsung.
Bahwa peranan tenaga
kerja yang berasal dari keluarga petani sendiri memegang peranan yang penting
tidaklah hanya khusus kita dapati di Indonesia saja. Juga di Negara-negara yang
sudah maju pertaniannya, istri dan anak petani ikut aktif menyumbang pada
kegiatan produksi. Kalau seseorang petani mengalami kekurangan tenaga pada saat
penggarapan tanah sawah maka ia akan dapat minta tolong pada tetangga dan
familinya dengan pengertian ia akan kembali menolongnya pada kesempatan yang
lain. Dengan cara begini tidak ada upah uang yang harus dibayar dan ini dapat
menekan ongkos tenaga kerja. Sifat tolong menolong ini ada pada petani dimana
saja, dalam satu desa atau lebih. Kaslan Tohir menunjukkan bahwa di Indonesia
tolong menolong ini lebih banyak terdapat pada tanaman padi daripada palawija.
Ini berarti bahwa tolong menolongmemang benar-benar lebih banyak terdapat pada
pekerjaan dimana dimungkinkan pengembalian pekerjaan yang sama pada tanaman
yang sama. Petani yang menanam tembakau misalnya walaupun memerlukan lebih
banyak tenaga kerja tidak dapat mengharapkan tenaga kerja bantuan secara
gratis. Pertama-tama ia akan mengerahkan tenaga kerja keluarga sendiri
sebanyak-banyaknya. Baru setelah ini belum cukup maka diupahnya tenaga kerja
tambahan dari luar keluarga. Tenaga kerja dari luar dapat berupa tenaga kerja
harian atau borongan tergantung pada keperluan. Tenaga kerja untuk penggarapan
sawah biasanya diatur secara borongan.
- Tenaga Kerja dan Pemimpin
Usahatani
Kalau orang mengatakan
bahwa dalam usahatani tenaga kerja adalah salah satu faktor produksi yang
utama, maka yang dimaksudnya adalah mengenai kedudukan si petani dalam
usahatani. Petani dalam usahatani tidak hanya menyumbangkan tenaga (labor)
saja. Dia adalah pemimpin (manager) usahatanni yang mengatur organisasi
produksi secara keseluruhan. Ia memutuskan berapa pupuk akan dibeli dan
digunakan, berapa kali tanah dibajak dan diratakan, berapa kali rumput-rumput
akan dibersihkan dan bahkan dialah yang memutuskan apakah akan dipakai tenaga
kerja dari luar disamping tenaga kerja dari keluarga sendiri. Jadi jelaslah
bahwa disini memang kedudukan si petani sangat menentukan usahatani. Fungsi
yang sangat penting ini disebabkan oleh kedudukan rangkap dari petani itu.
Dalam usahatani yang semakin besar maka petani semakin tidak mampu merangkap
kedua fungsi itu. Fungsi sebagai tenaga kerja harus dilepaskan dan ia
memusatkan diri pada fungsi sebagai pemimpin usahatani (manager). Lebih lanjut
lagi ada kemungkinan ia memutuskan untuk mengangkat seorang manager yang
kompeten. Manager ini dapat secara penuh memimpin usahatani dengan gaji
tertentu dan bertanggungjawab kepada petani pemilik usahatani.
- Tenaga Kerja Sebagai Faktor
Biaya
Dalam bacaan-bacaan
banyak kita dapati perbedaan perlakuan tenaga kerja sebagai faktor biaya antara
pertanian di Negara-negara yang sudah sangat maju (dengan luas rata-rata
usahatani yang besar) dengan pertanian seperti di Indonesia (yang luas
rata-rata usahataninya sangat kecil).
Di Negara-negara yang
sudah maju, kemajuan pertanian diukur dengan tingginya produktivitas tenaga
kerja dan semua usaha diarahkan untuk meningkatkan produktivitas itu. Sebalikya
di Negara-negara yang miskin seperti di Negara kita yang prinsipnya yang
demikian tidak selalu cocok dengan keperluan. Kalau di Negara-negara maju
tersebut faktor tenaga kerja merupakan faktor produksi yang paling terbatas jumlahnya,
maka di Negara kita tenaga kerja justru merupakan faktor produksi yang paling
kurag terbatas jika dibandingkan dengan tanah dan modal. Dalam keadaan seperti
pada Negara yang sudah maju itu mesin-mesin “penghemat tenaga kerja” (labor
saving) ditemukan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerj dan
produktivitas pertanian pada umumnya. Prinsip ekonomi pertanian seperti di
Amerika Serikat haruslah meningkatkan efisiensi dalam penggunaan tenaga kerja
per orang dan tidak pada peningkatan efisiensi dalam penggunaan tanah per
hektar. Namun seperti di Amerika Serikat, beberapa syarat harus dipenuhi untuk
menjamin efisiensi penggunaan tenaga kerja yang maksimum, yaitu: a) persediaan
tanah harus cukup; b) alat-alat pertanian, mesin-mesin dan tenaga kerja (power)
harus cukup; c) ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian harus cukup; dan d)
manajemen usahatani harus jempolan (superior).
Salah satu sebab utama
mengapa pertanian di Amerika Serikat mengalami kemajuan yang sangat hebat,
sehingga menghasilkan kelebihan produksi untuk ekspor ke seluruh dunia adalah
karena syarat-syarat tersebut dapat dipenuhi universitas-universitas yang
mengadakan sosialisasi dalam bidang pertanian dibantu dan didorong oleh
pemerintah (landgrant colleges), pendidikan ahli-ahli ekonomi pertanian untuk
tugas-tugas manajemen didorong agar maju. Usahatani kecil-kecilan yang dianggap
kurang efisien diperluas menjadi usahatani yang besar-besar dengan penanaman
modal yang besar jumlahnya.
- Produktivitas Tenaga Kerja
John Mellor telah
menyusun dua buah fungsi produksi hipotesis bagi tenaga kerja di Negara-negara
yang miskin dan belum maju dengan cara membedakan dua keadaan pertanian.
- Daerah Subur, Pertanian
Produktif, Penduduk Padat
Daerah-daerah ini
nampaknya dapat kita temukan di sebagian pulau jawa yang pengairannya baik.
Hasil produksi rata-rata tenaga kerja di daerah seperti ini masih selalu lebih
tinggi daripada kebutuhan subsitensi (subsitence requirement).
Dalam keadaan yang demikian
pertanian masih mampu menyediakan makanan pada penduduk walaupun tingkat
pendapatan sudah sangat rendah. Walaupun tingkat pendapatan sudah demikian
rendah tapi karena sangat terbatasnya lapangan pekerjaan diluar sektor
pertanian, maka tidak mungkin menyerap tenaga kerja dari sektor pertanian.
Penawaran tenaga kerja ini makin lama makin besar, lebih-lebih jika tingkat
pertambahan penduduk pada umumnya sangat tinggi misalnya 2,5-3% per tahun.
Jumlah penawaran tenaga kerja ini tergantung pada tingkat pertambahan penduduk
di satu pihak dan pertambahan kesempatan kerja di pihak lain.
- Daerah Tandus, Pertanian Kurang
Produktif, Penduduk Kurang Padat
Daerah-daerah seperti
Gunung Kidul, Wonogiri, Blitar Selatan sampai Malang Selatan dan daerah-daerah
pegunungan kapur lainnya merupakan daerah yang sedikit memiliki sumber-sumber
alam untuk pertanian yang produktif. Perbandingan antara penduduk dan tenaga
kerja dengan tanah-tanah pertanian (man-land ratio) sebenarnya lebih rendah
dari pada daerah (a) diatas. Namun begitu karena tanah pertaniannya kurang
subur maka tingkat pendapatan di daerah itu lebih rendah. Perbedaannya dengan
keadaan diatas adalah bahwa disini produksi total tidak dapat tinggi dan hasil
produksi rata-rata tidak pernah lebih tinggi daripada kebutuhan minimum untuk
subsistensi untuk daerah-daerah demikian, maka penduduk makanannya banyak di
tambahdengan ubi-ubian terutama gaplek dan daun-daunan. Mutu gizi makanan
sangat rendah. Penarikan tenaga kerja dari daerah-daerah seperti ini untuk
keperluan diluar daerah pertanian (atau transmigrasi) juga akan mengakibatkan
turunnya hasil produksi total.
Petani pada umumnya
rajin dan semangat gotong royong tinggi tetapi karena tanah memang tidak subur
maka keadaan penghidupan sangat menyedihkan. Di kedua daerah ini tidak kita
temukan produktivitas tenaga kerja yang nol atau negatif. Cara yang sedang
diadakan untuk meningkatkan pendapatan di daerah-daerah seperti ini adalah
dengan penciptaan proyek padat karya yang sekaligus menambah sumber-sumber
ekonomi. Misalnya penggalian saluran-saluran irigasi, penggalian sumur-sumur
untuk pengairan dan sebagainya. Tetapi proyek-proyek demikian mungkin akan
memakan waktu lama dalam penyelesaiannya karena harus dicarikan waktu-waktu dan
bulan-bulan dimana tenaga kerja desa paling banyak menganggur. Pada waktu musim
persiapan atau penggarapan tanah petani bekerja di sawah atau tegalnya
masing-masing.
Peningkatan Mutu Tenaga Kerja
Produktivitas tenaga
kerja pertanian dapat ditingkatkan melalui berbagai cara antara lain dengan
cara pendidikan dan latihan untuk meningkatkan mutu dan hasil kerjanya.
Sebagian besar dari pengetahuan dan keterampilan petani dalam bekerja diperoleh
dari orang tuanya yang membimbing sejak masih anak-anak. Tetapi sudah pernah
disebutkan teknologi baru di bidang pertanian kadang-kadang berasal dari tempat
yang jauh dari petani. Untuk menyampaikannya pada petani diperlukan suatu cara
khusus. Inilah tugas pendidikan dan latihan bagi petani-petani yang sudah
dewasa. Pendidikan yang dimaksudkan disini tentu saja bukan pendidikan
elementer dan pendidikan dasar ilmu tumbuh-tumbuhan atau ilmu hewan yang sudah
diajarkan pada sekolah-sekolah dasar di desa, tetapi pendidikan dan latihan
tambahan dalam cara-cara bertani yang lebih produktif, dalam menerapkan penemuan-penemuan
baru berupa alat-alat atau bahan-bahan pertanian dan manajemen usahatani pada
umumnya.
Pendidikan dan latihan
ini dilakukan oleh petugas-petugas penyuluhan pertanian yang kompeten, tenaga
kerja sukarela dengan sedapat mungkin disertai demonstrasi-demonstrasi dalam
kebun-kebun percobaan dinas pertanian. Pada malam hari dapat
diadakanpertunjukan film mengenai praktek-praktek pertanian antara lain yang
sudah maju pertaniannya. Di samping kemungkinan untuk menirunya juga dapat
merangsang motivasi dan daya kreasi petani.
Walaupun pada umumnya
petani merupakan manajer usahatani yang baik, tetapi akan sangat bermanfaat
untuk selalu menerangkan kepada petani implikasi setiap kebijaksanaan pertanian
terutama kebijaksanaan-kebijaksanaan yang baru. Dengan begitu mereka akan
selalu mutakhir dalam pemikiran-pemikirannya dan akan mampu membuat putusan
yang tepat bagi usahatani. Jadi peningkatan mutu petani dalam programyang
demikian tidak hanya bersifat teknis dan fisik, tapi juga bersifat mental dan
berhubungan dengan keterampilan manajemen.
- Mobilitas dan Efisiensi Tenaga
Kerja
Salah satu penyebab
penting mengapa tenaga kerja berlimpah di pedesaan adalah karena kesempatan
kerja di kota hampir tidak ada. Industry-industri yang memerlukan banyak tenaga
kerja belum banyak berkembang. Kalaupun ada biasanya memerlukan tenaga kerja
terdidik dan atau terlatih, suatu syarat yang sukar sekali dipenuhi oleh petani
di desa. Dalam keadaan yang sangat mendesak banyak petani yang pergi ke kota
mencari pekerjaan. Biasanya menjadi pengendara becak, suatu pekerjaan yang
tidak memerlukan pendidikan formal dan latihan yang diperlukan sedikit sekali.
Pekerjaan ini lebih menarik lagi karena mereka tidak memerlukan rumah khusus
untuk menetap di kota.
Mereka biasanya tidur
di becaknya baik di tepi-tepi jalan maupun di tempat-tempat pemilik becak. Di
samping tukang becak yang tetap mereka itu kebanyakan adalah petani-petani yang
ingin mendapat tambahan pendapatan di kota. Pada saat-saat penggarapan sawah
dan masa panen, mereka dapat kembali ke desa.dalam keadaan
perekonomian kota yang belum maju benar ada mobilitas yang tinggi dari tenaga
kerja antara desa dan kota. Hampir tidak ada petani yang memutuskan untuk
pindah ke kota bersama keluarganya untuk mencari pekerjaan. Biaya hidup di kota
terlalu tinggi bagi mereka. Jadi disamping pencarian pekerjaan bersifat
musiman, juga kebanyakan tenaga kerja ini adalah tenaga kerja laki-laki yang
mempunyai keluarga di desa.
Di zaman sebelum
kemerdekaan, pembukaan perkebunan-perkebunan yang banyak jumlahnya merupakan
suatu pemecahanyang baik. Perkebunan-perkebunan ini banyak menggantungkan pada
tenaga kerja musiman dari desa sekitarnya baik laki-laki maupun perempauan.
Sampai sekarang perkebunan-perkebunan tebu atau tembakau menggunakan tenaga
kerja petani dari desa-desa disekitarnya. Perkebunan-perkebunan merupakan
industry pertanian yang menciptakan industry dan lapangan pekerjaan tanpa
mendirikan kota-kota.
Dengan adanya
perkembangan yang demikian maka penduduk desa tetap padat dan terus bertambah padat.
Pendapata petani terus menurun setelah perkebunan-perkebunan banyak di tutup.
Tidak hanya perkebunan gula tebu yang di bumi hanguskan pada zaman perang
kemerdekaan, tapi juga karet, teh, kopi dan lain-lain yang keadaan pasarnya di
dunia terus memburuk. Keadaan demikian sangat berbeda dengan Jepang dimana
tenaga kerja di desa banyak di tamping oleh industry-industri di kota yang
mengalami perkembangan pesat.
Mobilitas tenaga kerja
tidak terbatas di jawa saja tetapi juga meliputi pulau-pulau di luar jawa.
Perkembangan perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur, adalah contoh
terpenting yang menyebabkan perpindahan besar-besaran tenaga kerja dari jawa.
Untuk perkebunan tembakau Sumatera Timur saja pada tahun 1939 hampir seperempat
juta orang meninggalkan jawa. Banyak diantara mereka yang setelah di kontrak
habis kembali lagi ke jawa, ke desanya yang lama.
Jadi masalah tenaga
kerja di desa di Indonesia bukanlah masalah penyedotan tenaga kerja yang
berlebihan di desa untuk di tamping di kota-kota dalam proyek-proyek industry
tetapi masalah mobilitas, yaitu masalah alokasi dan raelokasi yang sifatnya
dapat musiman atau sementara. Industry di Negara kita jumlahnya belum berarti
untuk menampung tenaga kerja desa ini. Dari uraian-uraian tersebut jelaslah
bahwa mobilitas tenaga kerja desa baik-baik yang sifatnya sementara maupun yang
sifatnya permanen mempunyai dua tujuan ekonomis yang penting.
Pertama, sebagai satu
cara mengurangi perbedaan tingkat pendapatan antara desa dan kota, kalau di
tinjau dari sudut petani usahauntuk meningkatkanefisiensi produk pertanian dan
kedua, sebagai suatu cara untuk meningkatkan efisiensi produksi pertanian.
Banyak sarjana ekonomi terlalu menekankan peranan petani sebagai salah satu
faktor produksi pertanian sebagai salah satu faktor produksi pertanian tanpa
mengingat bahwa mereka itu adalah manusia individu yang tidak saja mempunyai
kebutuhan ekonomi tapi juga mempunyai kebutuhan non ekonomi. Selain itu petani
adalah juga anggota masyarakat pedesaan yang mempunyai ciri-ciri khusus yang
berbeda dengan masyarakat kota. Berbagai aspek sosiologis dan tradisi ikut
mempengaruhi putusan petani untuk pindah meninggalkan lingkunagan masyarakat
desa. Satu atau beberapa indicator ekonomi saja mungkin tidak mampu menerangkan
perilaku petani yang di rasa kurang development minded. Beberapa pengarang
mengakui bahwa mobilitas tenaga kerja di Indonesia cukup tinggi walaupun dalam
kesempatan kerja tenaga kerja sangat terbatas.
Efisiensi dalam
penggunaan tenaga kerja salah satu contoh lain dimana peninjauan ekonomi saja
tidak mampu menerangkan penggunaan tenaga kerjasecara efisien adalah penggunaan
ani-ani untuk memetik padi terutama di jawa. Penny dan Annuar Arif mengadakan
penelitian khusus tentangsoal ini di Sumatera Utara pada tahun 1962. Kesimpulan
dari penelitian ini adalah bahwa penggunaan ani-ani yang terus menerus
semata-mata di dorongoleh kebiasaan dan diperkuat oleh perasaan masa bodoh dan
keinginan yang salah untuk pembagian rejeki di desa.
Hal yang demikian
disebut oleh Clifford Geerts sebagi pembagian kemelaratan (shared poverty).
Walaupun data ekonomi yang di kesimpulkan memang tidak menjurus ke arah
kesimpulan yang demikian itu, namun kesalahannya terletak pada asumsi bahwa
kebiasaan dan keinginan pembagian rejeki tersebut seakan-akan dapat dipisahkan
sama sekali dari faktor ekonomi.dengan kata lain tidak ada faktor-faktor
ekonomi dalam tindakan petani yang berdasarkan kebiasaan dan dalam keinginannya
terhadap pembagian rejeki itu. Yang pasti adalah bahwa penggantian ani-ani
dengan sabit bagi petanitidaklah semata-mata berarti penggantian satu alat
produksi dengan alat produksi yan lain dan yang lebih efisien (menghemat
tenaga), tetapi menyangkut persoalann perubahan fungsi produksi secara
keseluruhan. Pemanenan padi dengan ani-ani di jawa dilakukan oleh wanita.
Wanita mengerjakan ini berdasarkan system (pola) pembagian kerja yang sudah
mantap antara pria dan wanita selama beberapa generasi. Kalau bagi peninjau
dari luar Nampak seakan-akan semuanya tercakup dalam adat, tetapi penelitian
antar disiplin yang lebih mendalam akan menunjukan bahwa dalam adat itu
terkandung pertimbangan-pertimbangan dan faktor-faktor social ekonomi tertentu.
Dengan demikian maka dalam meninjau masalah mobilitas tenaga kerja untuk
peningkatan produksi dan pembangunan pertanian sebenarnya faktor no ekonomis
harus pula dipertimbangkan.
- Transmigrasi dan Migrasi
Sebagai Perluasan Lapangan Kerja
Persoalan transmigrasi
dapat di tinjau dari empat segi:
- Sebagai persoalan pemecahan
masalah penduduk pada umumnya
- Sebagai cara untuk memperluas
areal tanah pertanian
- Cara untuk memperluas
kesempatan kerja, dan
- Cara untu membantu pembangunan
daerah
Sebagai program
perluasan lapangan kerja transmigrasi tidak berbeda dari migrasi pada umumnya.
Yaitu perpindahan dari daerah yang satu ke daerah lainnya, dari desa ke kota,
dari daerah yang padat penduduknya ke daerah yang kurang penduduknya. Dalam hal
yang demikian maka transmigrasi ini hanya merupakan soal yang lebih khusus dari
mobilitas tenaga kerja pada umumnya sebagaimana sudah dibicarakan pada bagian
atas.
Secara teoritis
transmigrasi dapat ditinjau dari segi mikro atau makro. Dari segi (ekonomi)
mikro maka transmigrasi akan terjadi bila produktivitas marginal tenaga kerja
di daerah lama ke daerah baru. Faktor-faktor sosial budaya juga masuk dalam
pertimbangan para transmigran. Bila ditinjau secara ekonomi makro maka
transmigrasi adalah salah satu alokasi investasi biasa yang hanya bersifat
produktif apabila hasilnya melebihi biaya investasi itu. Anggaran transmigrasi
selalu dapat dinilai sebagai biaya alternative (opportunity cost)
karena mungkin dapat digunakann untuk program lain yang lebih produktif.
Itulah sebabnya ada
ahli yang berpendapat bahwa peningkatan industrialisasi lebih tepat untuk
memecahkan masalah penyerapan kelebihan tenaga kerja di Jawa dari pada
transmigrasi. Atau pemindahan penduduk dari Jawa ke Luar Jawa tidak terlalu
ditekankan pada pembukaan tanah-tanah pertanian tetapi pada proyek-proyek industry
atau proyek-proyek lain di luar pertanian.
Golongan penduduk yang
tergolong sebagai angkatan kerja adalah penduduk yang berumur di antara 15
hingga 64 tahun, kecuali : (i) ibu rumah tangga yang lebih suka menjaga
keluarganya dari pada bekerja, (ii) penduduk muda dalam lingkungan umur
tersebut yang masih meneruskan pelajarannya di sekolah dan universitas, (iii)
orang yang belum mencapai umur 65 tetapi sudah pensiun dan tidak mau bekerja
lagi, dan (iv) pengangguran sukarela, yaitu golongan penduduk dalam lingkungan
umur tersebut yang tidak secara aktif bekerja atau mencari pekerjaan. Dengan
demikian jumlah angkatan kerja dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan
berikut :
L = PL – (IR + MP + PP
+ PS)
dimanan L adalah
jumlah tenaga kerja (atau angkatan kerja). PL adalah penduduk dalam lingkungan
umur 15-64 tahun, adalah ibu rumah tangga yang tidak ingin bekerja. MP adalah
mahasiswa dan pelajar, PP adalah pekerja yang telah pensiun dan tidak ingin
bekerja lagi, dan PS adalah orang-orang tidak sekolah dan tidak bekerja dan
juga tidak mencari pekerjaan. Penduduk dalam lingkungan umur 15-64 tahun, yaitu
PL, dapat dipandang sebagai tenaga kerja potensial. Mereka sudah dapat
digolongkan sebagai tenaga kerja apabila mereka benar-benar memilih untuk
bekerja atau mencari pekerjaan. Tetapi sebagian dari mereka, berdasarkan kepada
pilihan sendiri.
PENGANGGURAN (UNEMPLOYMENT)
Menganggur tidak sama
dengan tidak bekerja atau tidak mau bekerja, tidak dapat dikatakan sebagai
pengangguran sebab jika dia mencari pekerjaan (ingin bekerja), mungkin dengan
segera mendapatkannya. Kalau begitu, mengapa dia tidak mau bekerja? Mungkin
karena sudah kaya. Misalnya, tabungannya sudah mencapai Rp. 3 milyar. Jika
tingkat bunga deposito bersih (setelah dipotong pajak) 1 % per bulan (12%
pertahun), maka tanpa bekerja penghasilannya mencapai Rp. 30 juta perbulan.
Sudah lebih dari cukup. Alasan – alasan lain yang membuat orang tidak (mau)
bekerja antara lain adalah ibu-ibu yang harus mengasuh anak, kawula muda yang
harus sekolah/kuliah dahulu.
- Definisi dan Pengertian
Pengangguran
Contoh dalam paragraf
di atas merupakan pengantar untuk membuat lebih mudah memahami konsep
pengangguran (unemployment). Sebab definisi ekonomi tentang
pengangguran tidak identic dengan tidak mau bekerja. Seseorang baru dikatakan
menganggur bila dia ingin bekerja dan telah berusaha mencari kerja, namun tidak
mendapatkannya.
Dalam ilmu
kependudukan (demografi), orang yang mencari kerja masuk dalam kelompok
penduduk yang disebut angkatan kerja. Berdasarkan kategori usia, usia angkatan
kerja adalah 15-64 tahun. Tetapi tidak semua orang yang berusia 15-64 tahun
dihitung sebagai angkatan kerja. Yang dihitung sebagai angkatan kerja adalah
penduduk berusia 15-64 tahun yang bekerja, dan sedang mencari kerja, sedangkan
yang tidak mencari kerja, entah harus mengurus keluarga atau sekolah, tidak
masuk angkatan kerja. Tingkat pengangguran adalah persentasi angkatan kerja
yang tidak/belum mendapatkaan pekerjaan lebih jelasnya anda dapat melihat
diagram berikut ini.
Struktur Penduduk Berdasarkan Usia
Pada diagram di atas
terlihat bahwa jumlah penduduk suatu Negara dapat dibedakan menjadi penduduk
usia kerja (15-64 tahun) dan bukan usia kerja. Yang masuk kelompok bukan usia
kerja (usia non-produtif) adalah anak-anak (0-14 tahun) dan manusia lanjut usia
(manula) yang berusia lebih dari 65 tahun. Dari jumlah penduduk usia kerja,
yang masuk angkatan kerja adalah mereka yang mencari kerja atau bekerja.
Sebagian yang tidak bekerja (dengan berbagai alasan) tidak masuk angkatan kerja
(bukan angkatan kerja). Lebih lanjut lagi terlihat, ternyata tidak semua
angkatan kerja memperoleh lapangan kerja. Mereka inilah yang disebut
pengangguran.
Tingkat pengangguran =
Jumlah yang Menganggur x 100%
JumlahAngkatan Kerja
Besar kecilnya angka
pengangguran sangat tergantung dari definisi atau pengklasifikasian
pengangguran. Setidak-tidaknya ada dua dasar utama klasifikasi pengangguran,
yaitu pendekatan angkatan kerja (Labour Force Approach) dan pendekatan
pemanfaatan tenaga kerja (Labour Utilization Approach).
- Pendekatan Angkatan Kerja
(Labour Force Approach)
Pendekatan ini
mendefinisikan pengangguran sebagai angkatan kerja yang tidak bekerja
- Pendekatan Pemanfaat Tenaga
Kerja (Labour Utilization Approach)
Dalam pendekatan ini,
angkatan kerja dibedakan menjadi 3 kelompok yakni :
- Menganggur (unemployed) yaitu
mereka yang sama sekali tidak bekerja atau sedang mencari pekerajaan.
Kelompok ini sering disebut juga pengangguran terbuka (open unemployment).
Berdasarkan definisi ini tingkat pengangguran di Indonesia umumnya
relative rendah, yaitu 3 % sampai 5 % pertahun.
- Setengah Menganggur
(underemployed)
Yaitu mereka yang
bekerja, tetapi belum dimanfaatkan secara penuh, artinya jam kerja mereka dalam
seminggu kurang dari 35 jam. Berdasarkan definisi ini tingkat pengangguran di
Indonesia relative tinggi, karena angkanya berkisar 35 % pertahun
- Bekerja Penuh (umployed), yaitu
orang-orang yang bekerja penuh atau jam kerjanya dalam seminggu mencapai
35 jam.
- Jenis – Jenis Pengangguran
Dalam studi ekonomi
makro yang lebih lanjut pembahasan masalah pengangguran akan dilakukan lebih
spesifik dan cermat. Misalnya akan dibahas apakah pengangguran yang terjadi
merupakan pengangguran sukarela (Voluntary Unemployment) atau pengangguran duka
lara (Involuntary Unemployment). Pengangguran sukarela adalah pengangguran yang
bersifat sementara, karena seseorang ingin mencari pekerjaan yang lebih baik
atau lebih cocok. Pengangguran dukalara adalah pengangguran yang terpaksa
diterima oleh seseorang, walaupun sebenarnya dia masih ingin bekerja.
Pengangguran sukarela dan dukalara erat kaitannya dengan jenis-jenis
pengangguran berikut ini.
- Pengangguran Friksional (Frictional Unemployment)
Apabila dalam uatu
periode tertentu perekonomian terus-menerus mengalami perkembangan yang pesat,
jumlah dan tingkat pengangguran akan semakin rendah. pada akhirnya perekonomian
dapat mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (full employment), yaitu
apabila pengangguran tidak melebihi 4%. pengangguran ini dinamakan pengangguran
friksional (Frictional Unemployment). segolongan ahli ekonomi
menggunakan istilah pengangguran normal atau pengangguran mencari (search
unemployment). pengangguran jenis ini bersifat sementara dan terjadi karena
adanya kesenjangan antara pencari kerja dengan lowongan kerja. kesenjangan ini
dapat berupa kesenjangan waktu,informasi ataupun karena kondisi geografis atau
jarak antara pencari kerja dan kesempatan (lowongan) kerja. mereka yang masuk
dalam katagori pengangguran sementara umumnya rela menganggur (voluntary
unemployment) untuk mendapat pekerjaan.
pengangguran
Friksional bukanlah wujud sebagai akibat dari ketidakmampuan memperoleh
pekerjaan melainkan sebagai akibat dari keinginan untuk mencari kerja yang
lebih baik. di dalam proses mencari kerja yang lebih baik itu ada kalanya
mereka yang harus menganggur. namun pengangguran ini tidak serius karena
bersifat sementara.
pengangguran
friksional merupakan perputaran normal tenaga kerja. seorang muda yang memasuki
angkatan kerja mencari pekerjaan. orang meninggalkan pekerjaannya karena
berbagai alasan. beberapa orang keluar karena tidak puas dengan kondisi
kerjanya,ada juga yang keluar karena dipecat. apapun alasannya,mereka harus
mmencari pekerjaan yangb memerlukan waktu. orang yang menganggur selama mencari
pekerjaan dikatakan menganggur secara friksional.
- Pengangguran Struktural
(Structural Unemployment)
dikatakan pengangguran
struktural karena sifatnya yang mendasar. pencari kerja tidak mampu memenuhi
persyaratan yang dibutuhkan untuk lowongan pekerjaan yang tersedia. hal ini
terjadi dalam perekonomian yang berkembag pesat. semakin tinggi dan rumitnya
proses produksi atau teknologi produksi yang digunakan, menuntut persyaratan
tenaga kerja yang juga makin tinggi. misalnya tenaga kerja yang dibutuhkan
untuk industry kimia menuntut persyaratan yang relative berat,yaitu pendidikan
minimal sarjana muda (program D3), mampu menggunakan computer dan menguasai
minimal bahasa inggris.
dengan makin besarnya
peranan mekanisme pasar yang semakin mengglobal, maka toleransi terhadap
kekurangan persyaratan yang dibutuhkan masih dapat ditoleransi, selama
kekurangannya hanya sedikit. sebab penawaran tenaga kerja yang berkualitas baik
relative sedikit dibanding kebutuhan. tetapi sekarang yang terjadi adalah
kelebihan tenaga kerja yang berkualitas. Jika tetap terjadi kekurangan, dapat
diatasi dengan mendatangkan tenaga kerja asing.
dilihat dari
sifatnya,pengangguran struktural lebih sulit diatasi dibanding pengangguran
friksional. selain membutuhkan pendanaan yang besar, juga waktu yang lama.
bahkan untuk Indonesia pengangguran struktural merupakan masalah besar di masa
mendatang, jika tidak ada perbaikan kualitas SDM.
pengangguran
struktural bisa didefinisikan sebagai pengangguran yang disebabkan karena tidak
adanya titik temu antara struktur angkatan kerja berdasarkan keterampilan,
jenis pekerjaan, industry, dan lokasi geografis dengan struktur permintaan
tenaga kerja.
- Pengangguran Siklis (Cyclical
Unemployment)
Pengangguran Siklis
(Cyclical Unemployment) atau pengangguran konjungtur adalah pengangguran yang
diakibatkan oleh perubahan-perubahan dalam tingkat kegiatan perekonomian. Pada
waktu kegiatan ekonomi mengalami kemunduran, perusahaan-perusahaan harus mengurangi
kegiatan memproduksi. Dalam pelaksanaannya berarti jam kerja dikurangi,
sebagian mesin produki tidak digunakan, dan sebagian tenaga kerja
diberhentikan. Dengan demikian, kemunduran ekonomi akan menaikkan jumlah dan
tingkat pengangguran.
tenaga kerja akan
terus bertambah sebagai akibat pertambahn penduduk. Apabila kemunduran ekonomi
terus berlangsung sehingga tidak dapat menyerap tambahan tenaga kerja, maka
pengangguran konjungtur akan menjadi bertambah serius. Ini berarti diperlukan
kebijakan-kebijakan ekonomi guna meningkatkan kegiatan ekonomi, dan harus
diusahakan menambah penyediaan kesempatan kerja untuk tenga kerja yang baru
memasuki pasar teng kerja (sebagai akibat bertambahnya penduduk). pengangguran
konjungtur hanya dapat dikurangi atau diatasi masalahnya apabila pertumbuhan
ekonomi yang terjadi setelah kemunduran ekonomi cukup besar juga dapat
menyedikan kesempatan kerja baru yang lebih besar dari pertambahan tenaga kerja
yang terjadi.
- Pengangguran Musiman (Seasonal
Unemployment)
Pengangguran ini
berkaitan erat dengan fluktuasi kegiatan ekonomi jangka pendek, terutama
terjadi di sektor pertanian. mislnya, di luar musim tanam dan panen, petani
umumnya menganggur, sampai menunggu musim tanam dan panen berikutnya.
- Pengangguran Teknologi
(Technology Unemployment)
Pengangguran dapat
pula ditimbukan oleh adanya penggantian tenaga manusia oleh mesin-mesin dan
bahan kimia. racun ilalang dan rumput, misalnya telah mengurangi penggunaan
tenaga kerja untuk membersihkan perkebunan, sawah, dan lahan pertanian lain.
begitu juga mesin telah mengurangi kebutuhan tenaga kerjan untuk membuat
lubang, memotong rumput, membersihkan kawasan, dan memungut hasil. sedangkan di
pabrik-pabrik, ada kalanya robot telah menggantikan kerja-kerja manusia.
pengangguran yang ditimbulkan oleh penggunaan mesin dan kemajuan teknologi
lainnya dinamakan pengangguran teknologi.
- Jenis Pengangguran Berdasarkan
Cirinya
- Pengangguran Terbuka
Pengangguran ini
tercipta sebagai akibat pertambahan tenaga kerja. Sebagai akibatnya dalam
perekonomian semakin banyak jumlah tenaga kerja yang tidak dapat memperoleh
pekerjaan. Efek dari keadaan ini di dalam suatu jangka masa yang cukup panjang
mereka tidak melakukan suatu pekerjaan. Jadi mereka menganggur secara nyata dan
sepenuh waktu, dan oleh karenanya dinamakan pengangguran terbuka. Pengangguran
terbuka dapat pula wujud sebagai akibat dari kegiatan ekonomi yang menurun,
dari kemajuan teknologi yang mengurangi penggunaan tenaga keja, atau sebagai
akibat dari kemunduran perkembangan sesuatu industri.
- Pengangguran Tersembunyi
Pengangguran
tersembunyi terjadi terutama wujud di sektor pertanian atau desa. Setiap
kegiatan ekonomi memerlukan tenaga kerja, dan jumlah tenaga kerja yang
digunakan tergantung kepada banyak faktor. Antara lain faktor yang pelru dipertimbangkan
adalah besar atau kecilnya perusahaan, jenis kegiatan perusahaan, mesin yang
digunakan (apakah intensif buruh atau intensif modal) dan tingkat produksi yang
dicapai. Di banyak negara berkembang seringkali didapati bahwa jumlah pekerja
dalam suatu kegiatan ekonomi lebih banyak dari yang sebenarnya diperlukan
supaya ia dapat menjalankan kegiatannya dengan efisien. Kelebihan tenaga kerja
yang digunakan digolongkan dalam pengangguran tersembunyi. Contoh-contohnya
ialah pelayan restoran yang lebih banyak dari yang diperlukan dan keluarga
petani dengan anggota keluarga yang besar petani dengan anggota keluarga yang
besar yang mengerjakan luas tanah yang sangat kecil.
- Pengangguran Bermusim
Pengangguran ini
terutama terdapat disektor pertanian dan perikanan. Pada musim hujan penyadap
karet dan nelayan tidak dapat melakukan pekerjaan mereka dan dapat melakukan
pekerjaan mereka dan terpaksa mengganggur. Pada musim kemarau pula para pesawah
tidak dapat mengerjakan tanahnya. Disamping itu pada umumnya para pesawah tidak
begitu aktif diantara waktu sesudah menanam dan sesudah menuai. Apaila dalam
masa diatas para penyadap karet, nelayan dan pesawah tidak melakukan pekerjaan
lain maka mereka terpaksa menganggur. Pengangguran seperti ini digolongkan
sebagai pengangguran bermusim.
- Setengah Menganggur
Di Negara-negara
berkembang penghijrahan atau migrasi dari desa ke kota adalah sangat pesat.
Sebagai akibatnya tidak semua orang yang pindah ke kota dapat memperoleh
pekerjaan dengan mudah. Sebagiannya terpaksa menjadi penganggur sepenuh waktu.
Di samping itu ada pula yang tidak menganggur, tetapi tidak pula bekerja
sepenuh waktu, dan jam kerja mereka dalah jauh lebih rendah dari yang normal.
Mereka mungkin hanya bekerja satu hingga dua hari seminggu, atau satu hingga 4
jam sehari. Pekerja-pekerja yang mempunyai masa kerja seperti yang dijelaskan
ini digolongkan sebagai setengah menganggur atau dalam bahasa inggris:
underemployed. Dan jenis penganggurannya dinamakan underemployment.
- Karakteristik Pengangguran di Amerika Serikat
Anatomi pengangguran
terbentuk sekitar tiga fakta pokok perilaku pengangguran di Amerika Serikat :
- Terdapat arus keluar-masuk
individu yang besar atas pengangguran setiap bulan, dan hampir setiap
orang yang menjadi penganggur pada bulan tertentu, tetap menganggur hanya
untuk waktu yang singkat.
- Kebanyakan pengangguran di
Amerika Serikat terdiri dari orang yang akan menganggur untuk waktu yang
sangat lama.
- Terdapat perbedaan yang besar
dari tingkat pengangguran pada berbagai kelompok yang berbeda dalam
angkatan kerja.
Fakta pertama dan kedua
kelihatannya saling bertentangan. Sebuah contoh numerik akan menjelaskan bahwa
sebenarnya tidak terdapat pertentangan. Misalkan bahwa angkatan kerja terdiri
dari 100 (juta) orang dan bahwa 5 orang menganggur setiap bulan. Asumsikan
bahwa empat dari kelima orang tersebut menganggur selama tepat1 bulan, dan satu
orang akan mengganggur selama 6 bulan. Asumsikan pula bahwa perekonomian berada
pada keadaan stabil, sehingga situasi ini berulang setiap bulan selama
bertahun-tahun.
Kita tanyakan terlebih
dahulu berapa banyak orang yang menganggur pada suatu waktu, katakanlah,
tanggal 30 september. Akan terdapat lima orang yang menganggur pada tanggal 1
september, dimana satu orang telah menganggur pada tanggal 1 agustus (dan telah
menganggur selama 2 bulan), dan seterusnya, kembali kepada orang yang
menganggur pada tanggal 1 april, yang masa penganggurannya selama 6 bulan akan
berakhir pada tanggal 1 oktober. Secara keseluruhan, akan terdapat 10 orang
yang menganggur, dan karenanya tingkat pengangguran adalah 10 persen. Dari
kesepuluh orang ini, enam orang akan mengalami masa pengangguran selama 6 bulan
sebelum mereka kembali bekerja. Ini konsisten dengan fakta kedua. Tetapi
ingatlah bahwa kita mulai dengan lima orang yang menjadi penganggur selama
setiap bulan, empat diantaranya tetap mengganggur selama hanya satu bulan. Dan
itu konsisten dengan fakta pertama, bahwa hampir setiap orang menganggur pada
bulan tertentu, tetap menganggur hanya untuk waktu yang singkat.
Fakta ketiga, variasi
tingkat pengangguran pada berbagai kelompok yang berbeda dalam angkatan kerja,
dapat diteliti dengan menggunakan hubungan antara tingkat pengangguran
keseluruhan µi dari kelompok-kelompok
dalam angkatan kerja. Tingkat pengangguran keseluruhan merupakan rata-rata
tertimbang dari tingkat pengangguran antar kelompok :
µ = w1µ1 + w2µ2 + . . . + wnµn (1)
Bobot wi merupakan bagian dari angkatan kerja sipil
yang termasuk dalam kelompok tertentu, misalnya remaja kulit hitam.
Persamaan (1)
menjelaskan bahwa tingkat pengangguran secara keseluruhan dapat merupakan
tingkat pengangguran yang sama saja untuk berbagai kelompok yang berbeda dalam
angkatan kerja, atau dapat menyembunyikan perbedaan yang dramatis pada tingkat
pengangguran antar kelompok yang digolongkan, misalnya menurut usia, ras, dan
jenis kelamin. Fakta 3 adalah bahwa tingkat pengangguran antar kelompok.
Misalnya, pada bulan April 1986, tingkat pengangguran agregat rata-rata adalah
7,0 persen; pengangguran kulit putih adalah 6,1 persen dan pengangguran bukan
kulit putih adalah 13,6 persen. Dalam persamaan (1) diperoleh :
7,0 % = (0,88) 6,1% +
(0,12) 13,6%
dimana konstribusi
dari kedua kelompok itu dalam angkatan kerja, berturut-turut adalah 88 persen
dan 12 persen. Berikut ini analisis yang lebih terinci atas ketiga fakta pokok
tentang anatomi pengangguran.
- Arus Masuk dan Keluar dari
Pengangguran
Seseorang bisa
menganggur karena satu di antara empat alasan berikut : (1) orang itu mungkin
baru masuk ke dalam angkatan kerja, mencari pekerjaan untuk pertama kalinya,
atau orang yang masuk kembali. Seseorang yang kembali masuk ke angkatan kerja
setelah tidak mencari pekerjaan selama lebih dari 4 minggu. (2) Seseorang
mungkin meninggalkan pekerjaan untuk mencari pekerjaan lain dan mendaftarkan
diri sebagai penganggur sambil mencari kerja. (3) Orang itu mungkin
diberhentikan dari pekerjaannya. Definisi pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah
skorsing tanpa pembayaran yang berlangsung atau diharapkan berlangsung selama
lebih dari 7 hari berturut-turut, yang diprakarsai oleh majikan “secara
hormat”. Syarat terakhir ini berarti bahwa pekerja itu tidak dipecat, tetapi
mungkin akan kembali ke pekerjaannya yang lama jika permintaan atas produk
perusahaan pulih kembali. Perusahaan biasanya akan menyesuaikan diri terhadap adanya
penurunan permintaan barang yang diproduksinya dengan memberhentikan sebagian
pekerja. Perusahaan mungkin pula menggilir pemberhentian diantara tenaga
kerjanya sehingga individu pekerja yang diberhentikan bisa mengharapkan
pemanggilan kembali, bahkan sebelum permintaan atas produk pulih kembali
sepenuhnya. Pada sektor industry manufaktur, tampak bahwa lebih dari 75 persen
para pekerja yang diberhentikan, kembali kepekerjaan dengan majikan mereka
semula. (4) Pekerja mungkin kehilangan pekerjaan dimana tidak ada harapan untuk
kembali lagi, entah karena di pecat atau karena perusahaan menutup usahanya.
- Frekuensi Pengangguran
Frekuensi pengangguran
adalah jumlah waktu rata-rata per periode dimana seorang pekerja menjadi
penganggur. Ada dua faktor penentu yang pokok atas frekuensi pengangguran ini.
Yang pertama adalah perubahan permintaan akan tenaga kerja antar perusahaan yang
berbeda dalam perekonomian. Bahkan apabila permintaan agregat konstan, sebagian
perusahaan akan mengalami pertumbuhan sebagian lainnya bangkrut. Perusahaan
yang bangkrut akan kehilangan tenaga kerjanya, sedangkan perusahaan yang
semakin maju akan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Semakin besar perubahan
permintaan akan tenaga kerja ini antar perusahaan yang berbeda, akan semakin
tinggi tingkat pengangguran. Lebih lanjut, perubahan permintaan agregat itu
sendiri akan mempengaruhi perubahan permintaan akan tenaga kerja. Faktor
penentu kedua adalah tingkat dimana para pekerja baru memasuki angkatan kerja.
Semakin cepat para pekerja baru memasuki angkatan kerja akan semakin cepat pula
laju pertumbuhan angkatan kerja dan dengan demikian akan menaikkan tingkat pengangguran
alamiah.
Dalam pembangunan
ekonomi ada tenaga-tenaga manusia yang disebut menganggur dan setengah
menganggur. Tenaga kerja yang menganggur adalah mereka yang ada dalam umur
angkatan kerja dan sedang mencari pekerjaan pada tingkat upah yang berlaku.
Tenaga kerja yang tidak sedang mencari pekerjaan tidak digolongkan dalam
angkatan kerja dan juga bukan pengangguran. Jumlah tenaga kerja yang menganggur
atau yang sedikit sekali digunakan, cukup banyak di Negara – Negara yang padat
penduduknya. Di Negara – Negara sedang berkembang pengangguran dapat
digolongkan ke dalam 3 jenis yaitu :
- Pengangguran yang kelihatan (visible underemployment)
- Pengangguran tak kentara (disguised unemployment/invisible underemployment)
- Pengangguran potensial (potensial nderemployment)
- Pengangguran yang Kelihatan (Visible Underemployment)
Visible Underemployment akan timbul apabila jumlah waktu kerja yang
sungguh-sungguh digunakan lebih sedikit dari pada waktu kerja yang
sanggup/disediakan untuk bekerja. Tegasnya, ini merupakan suatu pengangguran.
Meskipun beberapa dari pengangguran itu terdapat di sektor-sektor kerajinan dan
industri-industri sedang maupun besar, namun cukup penting bagi Negara-negara
sedang berkembang karena adanya sifat-sifat khas kegiatan sektor pertanian.
Guna lebih jelasnya Visible Underemployment ini
dibagi dua yaitu pengangguran kronis dan penggangguran musiman (chronic underemployment dan seasonal underemployment).
Pengangguran yang kronis terjadi meskipun pada puncak kegiatan pertanian jumlah
waktu kerja potenisal yang tersedia melebihi jumlah waktu kerja yang
benar-benar dipergunakan. Dengan demikian pengangguran yang kronis ini dapat
dikerahkan untuk bekerja di sektor-sektor di luar pertanian tanpa mengurangi
tenaga kerja yang sungguh-sungguh di perlukan untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan di sektor pertanian. Sebaliknya tenaga kerja yang tergolong
penganggur musiman di sektor pertanian tidak dapat di tarik ke sektor lain
tanpa mempengaruhi produksi tindakan – tindakan yang memperbaiki/mengubah cara
produksi. Jelasnya, pengangguran yang kentara timbul karena kurangnya
kesempatan kerja.
- Pengangguran tak kentara (disguised unemployment/invisible underemployment)
Pengangguran tak
kentara terjadi apabila para pekerja telah menggunakan waktu kerjanya secara
penuh dalam suatu pekerjaan dapat ditarik (setelah ada perubahan –perubahan
sederhana dalam organisasai atau metode produksi tetapi tanpa suatu tambahan
yang besar) ke sektor-sektor/pekerjaan lain tanpa mengurangi output. Sebagai
misal kalau pada saat panen atau tanam padi, tetapi caranya lebih di organisir,
maka pengurangan beberapa tenaga kerja pada saat giat-giatnya pekerjaan
tersebut tidak akan mengurangi/menurunkan output. Hal ini terjadi jika juga di
daerah pedesaan dimana tenaga-tenaga yang mengganggur tertarik pada
kegiatan-kegiatan jasa perdagangan. Di daerah pedesaan dengan tingkat upah yang
rendah dan cukup bahan makanan, maka tenaga kerja bekerja di bawah kapasitas
normal, sehingga memungkinkan pengurangan tenaga kerja tanpa mengurangi jumlah
output; hanya harus di sertai dengan perbaikkan dalam tingkat kesehatan melalui
perbaikan bahan makanan.
- Pengangguran Potensial (potensial nderemployment)
Pengangguran potensial
merupakan suatu perluasan dari pada disguised unemployment dalam arti bahwa
para pekerja dalam suatu sektor dapat ditarik dari sektor tersebut tanpa
mengurangi output hanya harus dibarengi dengan perubahan-perubahan fundamental
dalam metode-metode produksi yang memerlukan pembentukkan capital yang berarti.
Kemungkinan penarikan tenaga kerja yang secara potensial menganggur itu untuk
kegiatan-kegiatan yang produktif, terdapat baik di sektor pertanian maupun
sektor industri. Kemungkinan penyebarannya di sektor pertanian terbukti dari
tingkat upah atau tingkat produktivitasnya yang diperlukan mungkin sekali
memerlukan perluasan daerah penanaman, penggantian tenaga-tenaga manusia dengan
mesin. Dengan penarikan tenaga kerja dari sektor pertanian itu perlu diciptakan
lapangan kerja disektor yang lain. Contoh untuk sektor-sektor di luar pertanian
ialah digantikannya industri-industri rumah tangga atau industri-industri kecil
dengan industri-industri sedang maupun industri besar.
- Memanfaatkan Tenaga-Tenaga yang
Menganggur
Tenaga-tenaga yang
menganggur merupakan persediaan faktor produksi yang dapat dikombinasikan
dengan faktor-faktor produksi lain untuk meningkatkan output di Negara – Negara
sedang berkembang. Persediaan tenaga kerja ini jelas lebih banyak terdapat di
daerah-daerah yang padat penduduknya. Masalah pemanfaatan tenaga menganggur ini
menyangkut baik segi penawaran maupun segi permintaan. Untuk memperluas
permintaan akan tenaga kerja diperlukan adanya pengorganisasian tenaga kerja
seperti halnya dengan capital. Pembangunan masyarakat desa mungkin merupakan
jalan yang baik, karena hanya diperlukan capital yang relative tidak besar.
Suatu keuntungan penggunaan tenaga-tenaga yang mengganggur secara musiman yakni
tidak mengurangi tenaga-tenaga yang diperlukan untuk mengadakan panenan maupun
penanaman. Industri – industry kecil juga mungkin sekali akan menyerap
tenaga-tenaga yang menganggur karena musim atau memang secara kronis.
Masalah perluasan
penawaran tenaga kerja menimbulkan akibat-akibat yang lebih luas lagi. Seperti
dinyatakan oleh Profesor Leibenstein, kemampuan untuk menghasilkan lebih banyak
tergantung pada kalori yang dimiliki oleh tenaga kerja itu. Sehingga tidak begitu
mudah nampaknya untuk menarik tenaga kerja dari sektor pertanian yang kemudian
ini akan diikuti oleh penarikan bahan makanann dari sektor pertanian pula
seperti dikemukakan oleh Profesor Ragnar Nurkse. Ketidaksempurnaan pasar dapat
menghambat alokasi sumber-sumber / faktor-faktor produksi secara lebih efisien,
jika dalam masyarakat itu terdapat suatu susunan sosial yang kaku , kurang
adanya spesialisasi, adanya ketidakstabilan faktor-faktor produksi.
Masalah-masalah ini dapat diatasi dengan suatu perancangan dan pengelolaan yang
baik, serta diadakan survey yang mendalam mengenai kemungkinan-kemungkinan
investasi baru yang nantinya akan dapat mengubah sifat-sifat sosial dan
kebudayaan.
- Perbedaan Antara Pengangguran Friksional dengan Pengangguran
Struktural
Karena banyaknya
perbedaan, maka batasan antara pengangguran fruksional dengan pengangguran
struktural menjadi kabur. Pengangguran struktural sebenarnya adalah
pengangguran friksional jangka panjang. Sebagai gambaran, kita lihat suatu
perubahan yang memerlukan realokasi tenaga kerja dari satu sektor ke sektor
lainnya. Jika relokasi itu terjadi dengan cepat, kita sebut pengangguran
friksional, tetapi jika relokasi itu terjadi secara lambat kita sebut
pengangguran struktural.
Ciri pokok pengangguran
friksional dan pengangguran structural adalah tersedianya pekerjaan yang lowong
dan belum terisi oleh setiap orang yang menganggur. Dalam kasus pengangguran friksional murni, ada
titik temu antara lowongan pekerjaan dengan mereka yang memilih pekerjaan.
Satu-satunya masalah adalah pemilih pekerjaan belum ditempatkan pada lowongan
yang ada. Dalam kasus pengangguran struktural, antara lowongan pekerjaan dengan
pemilih pekerjaan tidak ada titik temu, dari satu segi atau lebih relevannya
seperti jenis pekerjaan, industry, wilayah ataupun kebutuhan keterampilannya.
Jumlah pengangguran
friksional ditambah dengan tingkat pengangguran struktural, adalah sama dengan
tingkat pengangguran natural, seperti yang telah dibahas sebelumnya.
- Pengangguran Defisiensi – Permintaan
Pengangguran yang
terjadi karena permintaan total tidak cukup untuk membeli semua output yang
bisa diproduksi oleh tenaga kerja yang dipekerjakan penuh, kita sebut dengan pengangguran defisiensi-permintaan (deficient-demand
unemployment). Pengangguran ini terjadi karena adanya senjang resesi. Sebagai
akibatnya, pekerjaan yang tersedia lebih sedikit dari pada orang-orang yang
menganggur. Pengangguran defisiensi-permintaan dapat diukur dengan menghitung
jumlah orang yang semestinya dipekerjakan pada tingkat pendapatan potensial
(Jadi, angka ini merupakan imbangan kesempatan kerja terhadap senjang resesi).
Jika pengangguran defisiensi-permintaan sama dengan nol, berarti tersedia
kesempatan kerja bagi setiap orang yang menganggur. Dalam situasi demikian,
pengangguran berlangsung baik karena alasan friksional maupun alasan
struktural. Ini adalah tingkat pengangguran natural.
Teori pendapatan
nasional mencari penjelasan tentang sebab dan cara mengatasi pengangguran yang
melebihi pengangguran friksional dan pengangguran struktural. Penggunaan tenaga
kerja penuh (full employment) tidak berarti angka pengangguran sama dengan nol,
tetapi berarti bahwa semua pengangguran adalah friksional atau struktural.
Teori pendapatan
nasional mencoba menjelaskan tentang penggangguran defisiensi-permintaan yang
dikaitkan dengan naik-turunnya pendapatan nasional total suatu Negara, yang
bergerak sekitar pendapatan potensialnya.
- Pengangguran Upah Riel
Pengangguran yang disebabkan
karena terlalu tingginya upah riel tersebut pengangguran upah riel (riel wage
unemployment) atau kadang-kadang disebut pengangguran klasik (classical
unemployment). Istilah yang disebut terakhir digunakan karena banyak ekonom,
yang oleh Keynes dijuluki ekonom klasik, yakni bahwa pengangguran pada tahun
1930-an disebabkan oleh tingginya upah riel. Untuk mengatasi masalah
pengangguran ini, disarankan menurunkan tingkat upah. Keynes berpendapat bahwa
pengangguran itu disebabkan oleh terlalu kecilnya permintaan agregat, dan
penyelesaian yang disarankan adalah meningkatkan permintaan bukan memotong
upah. Penganut Keynes memenangkan perdebatan itu, dan sekarang ada semacam
persetujuan umum bahwa pengangguran pada decade 1930-an disebabkan oleh
kurangnya permintaan agregat ketimbang terlalu tingginya upah riel.
Karena perdebatdan
pada decade 1930-an itu diliputi oleh emosional yang kuat, banyak penganut
Keynes modern telah menolak keyakinan bahwa setiap pengangguran bisa disebabkan
oleh upah riel yang tinggi. Akan tetapi, ada masalah lain bahwa pengangguran
yang ada sekarang ini di Eropa Barat dan Negara-negara lain, apabila ditelusuri
ternyata disebabkan oleh tingkat upah riel yang berlebihan.
Sejauh ini, kita telah
menggunakan istilah upah riel yang dimaksudkan adalah saya beli upah nominal.
Daya beli ini diukur dengan cara mendeflasikan upah nominal dengan Indeks Harga
Konsumen. Pada bagian ini, kita akan membahas biaya riel yang dikelurkan
perusahaan dalam mempekerjakan tenaga kerja. Biaya ini kita sebut dengan upah
produk riel. Biaya nominal bagi seorang majikan adalah gaji sebelum pajak,
tunjangan tambahan seperti iuran dana pensiun dan setiap pajak gaji dan upah
pemerintah seperti iuran perusahaan untuk jaminan sosial. Upah produk riel
adalah upah biaya nominal selama periode waktu tertentu, misalnya per jam
tenaga kerja, dibagi dengan nilai output yang dihasilkan oleh tenaga kerja itu
selama periode waktu yang sama. Jadi misalnya, jika diperlukan biaya sebesar $
20 untuk mengupah tenaga kerja yang menghasilkan output bernilai $ 30, maka
dapat dikatakan bahwa upah produk rielnya adalah 0,666 yang artinya bahwa biaya
tenaga kerja menyerap dua pertiga dari nilai output.
Upah produk riel yang
terlalu tinggi dapat mempengaruhi kesempatan kerja, baik dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang. Pertama, kita akan melihat pengaruhnya dalam
jangka pendek. Pada saat kapanpun banyak industri yang memiliki sejumlah
pabrik, mulai dari pabrik yang menggunakan teknologi tua dan hanya mampu
sedikit melampaui biaya-biaya variabelnya, hingga pabrik yang menggunakan
teknologi canggih dan mampu menutup semua biaya variabel dengan sisa keuntungan
yang besar. Suatu kenaikkan upah produk riel sebesar 10 persen akan berarti
bahwa beberapa pabrik itu tidak mampu lagi menutup biaya-biaya variabelnya, dan
tentu saja pabrik itu akan gulung tikar. Misalnya jika sebuah perusahaan
memberikan upah $700 dan mengeluarkan biaya variabel lain $250 untuk setiap
penjualan $1000, maka produksinya masih menguntungkan karena masih ada sisa $50
dari setiap penjualannya yang $1000 itu untuk pengembalian atas modal yang
diinvestasikan. Jika upah produk naik, sehingga $770 harus dibayarkan sebagai
upah untuk setiap penjualan $1000, maka tentu perusahaan tersebut akan tutup
karena untuk menutup biaya variabel saja tidak cukup. Para pekerja pabrik
kemudian akan kehilangan pekerjaannya. Contoh ini juga berlaku untuk sistem
ekonomi secara keseluruhannya.
Kenaikan upah produk
riel pada keseluruhan sistem ekonomi, dengan asumsi faktor-faktor lain tetapi
berarti bahwa beberapa pabrik dan perusahaan tidak akan mampu lagi menutup
biaya-biaya variabel mereka sehingga akan gulung tikar. Jika perusahaan itu
melakukannya,, tingkat pengangguran akan naik.
Sekarang kita lihat
suatu periode waktu yang lebih panjang, permintaan tenaga kerja disesuaikan
dengan upah produk riel dengan mengganti mesin-mesin lama dengann mesin-mesin
baru yang memerlukan rasio modal tenaga kerja (capital labor ratio) yang
berbeda. Dalam jangka panjang, perusahaan akan memakai teknologi yang
menggantikan mahalnya tenaga kerja dengan modal yang lebih murah, dan ini akan
menaikkan jumlah pengangguran upah riel. Jadi, apabila upah riel dalam suatu
sistem perekonomian terlalu tinggi, akan terjadi kesenjangan stuktural antara
tenaga kerja dengan persediaan modal. Ketidaksesuaian ini akan muncul sebagai
pengangguaran, jika persediaan modal beroperasi pada kapasitas penuh, masih
akan tetap terdapat tenaga kerja yang menganggur. Pengangguran kemudian akan
memaksa upah rielnya untuk turun, sampai semua perusahaan memperkerjakan semua
tenaga kerja yang ada. Alternatif lainnya adalah, pengangguran teknologi baru
dapat lebih menguntungkan dengan menggunakan tenaga kerja yang menganggur
meskipun hal itu memberikan upah produk riel yang tinggi.
- Beberapa Tujuan Kebijakan Pemerintah
Untuk menghindari
efek-efek buruk fsri pengangguran pemerintah perlu secara terus menerus
berusaha mengatasi masalah pengangguran. Uraian berikut menerangkan beberapa
tujuan dari kebijakan pemerintah dalam mengatasi masalah pengangguran :
- Tujuan Bersifat Ekonomi
Tujuan untuk mengatasi
pengangguran didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat ekonomi.
Dalam hal ini ada tiga pertimbangan utama untuk menyediakan lowongan pekerjaan
baru, untuk meningkatan taraf kemakmuran masyarakat dan memperbaiki kesamarataan
pembagian pendapatan.
- Menyediakan Lowongan Pekerjaan
Kebijakan pemerintah
untuk mengatasi pengangguran merupakan usaha yang terus menerus. Dengan
perkataan lain, ia merupakan usaha dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam jangka panjang usaha mengatasi pengangguran diperlakukan karena jumlah
penduduk yang selalu bertambah akan menyebabkan pertambahan tenaga kerja yang
terus menerus. Maka, untuk menghindari masalah pengangguran yang semakin
serius, tambahan lowongan pekerjaan yang cukup perlu disediakan dari tahun ke
tahun.
Dalam jangka pendek
pengangguran dapat menjadi bertambah serius, yaitu ketika berlaku kemunduran
atas pertumbuhan ekonomi yang lambat. Dalam masa seperti itu kesempatan kerja
bertambah dengan lambat dan pengangguran meningkat. Menghadapi keadaan yang
seperti ini usaha-usaha pemerintah untuk mengatasi pengangguran perlu
ditingkatkan.
- Meningkatkan Taraf Kemakmuran
Masyarakat
Kenaikan kesempatan
kerja dan pengurangan pengangguran sangat berhubungan dengan pendapatan
nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat. Kenaikkan kesempatan kerja menambah
produksi nasional dan pendapatan nasional. Perkembangan ini selanjutnya akan
menambah kemakmuran masyarakat. Ukuran kasar dari kemakmuran masyarakat adalah
pendapatan perkapita yang diperoleh dengan cara membandingkan pendapatan
nasional dengan jumlah penduduk. Dengan demikian kesempatan kerja yang semakin
meningkat dan pengangguran yang semakin berkurang bukan saja menambah
pendapatan perkapita. Melalui perubahan ini kemakmuran masyarakat akan
bertambah.
- Memperbaiki Pembagian
Pendapatan
Pengangguran yang
semakin tinggi menimbulkan efek yang buruk kepada kesamarataan pembagian
pendapatan. Pekerja yang menganggur tidak memperoleh pendapatan. Maka semakin
besar pengangguran, semakin banyak golongan tenaga kerja yang tidak mempunyai
pendapatan. Seterusnya pengangguran yang terlalu besar cenderung untuk
mengekalkan atau menurunkan upah golongan berpendapatan rendah. Sebaliknya,
pada kesempatan kerja yang tinggi tuntutan kenaikan upah akan semakin mudah di
peroleh. Dari kecenderungan ini dapat disimpulkan bahwa usaha menaikkan
kesempatan kerja dapat juga digunakan sebagai alat untuk memperbaiki pembagian
pendapatan dalam masyarakat.
- Tujuan Bersifat Sosial dan
Politik
Kebijakan pemerintah
untuk mengatasi masalah pengangguran juga berusaha untuk mencapai beberapa
tujuan yang bersifat sosial dan politik. Tujuan untuk mengatasi masalah sosial
dan politik tidak kalah pentingnya dengan tujuan yang bersifat ekonomi. Tanpa
kestabilan sosial dan politik, usaha-usaha untuk mengatasi masalah ekonomi
tidak dapat dicapai dengan mudah.
- Meningkatkan Kemakmuran
Keluarga dan Kestabilan Keluarga
Ditinjau dari segi
mikro, tujuan ini merupakan hal yang sangat penting. Apabila kebanyakan anggota
dalam suatu rumah tangga tidak mempunyai pekerjaan, berbagai masalah akan
timbul. Pertama, keluarga tersebut mempunyai kemampuan yang terbatas untuk
melakukan perbelanjaan. Maka secara langsung pengangguran mengurangi taraf
kemakmuran keluarga. Seterusnya, pengangguran mengurangi kemampuan keluarga
untuk membiayai pendidikan anak-anaknya “Drop-out” di sekolah – sekolah sengat
berhubungan erat dengan masalah kemiskinan. Efek psikologi ke atas rumah tangga
seperti merasa rendah diri, kehilangan kepercayaan diri dan perselisihan dalam
keluarga, merupakan masalah lain yang ditimbulkan oleh pengangguran.
- Menghindari Masalah Kejahatan
Disatu pihak
pengangguran menyebabkan para pekerja kehilangan pendapatan . Akan tetapi di
lain pihak, ketiadaan pekerjaan tidak akan mengurangi kebutuhan untuk
berbelanja. Sewa rumah harus di bayar, keluarga perlu melakukan pengeluaran
untuk makanan dan biaya sekolah anak-anak mesti harus dibayar. Sering kali
yaitu apabila tiada tabungan dan sumber pendapatan lain, pengangguran
menggalakkan kegiatan kejahatan. Terdapat keterkaitan yang erat diantara
masalah kejahatan dan masalah pengangguran, semakin tinggi pengangguran,
semakin tinggi kasus kejahatan. Dengan demikian usaha mengatasi pengangguran
secara tidak langsung menyebabkan pengurangan dalam kejahatan.
- Mewujudkan Kestabilan Politik
Kestabilan ekonomi dan
pertumbuhan ekonomi yang diperlukan untuk menaikkan taraf kemakmuran masyarakat
memerlukan kestabilan politik. Tanpa kestabilan politik tidak mungkin sesuatu
Negara dapat mencapai pertumbuhan cepat dan terus menerus. Pengangguran
menyebabkan masyarakat tidak merasa puas dengan pihak pemerintah. Mereka merasa
pemerintah tidal melakukan tindakan yang cukup untuk masyarakat. Dalam
perekonomian yang tingkat penganggurannya tinggi masyarakat seringkali
melakukan demonstrasi dan mengemukakan kritik ke atas pemimpin-pemimpin
pemerintah. Hal-hal seperti itu akan menimbulkan halangan untuk melakukan
investasi dan mengembangkan kegiatan ekonomi. Sebagai akibatnya perkembangan
ekonomi yang lambat semakin berkepanjangan dan keadaan pengangguran semakin
buruk.
KESIMPULAN
Tenaga kerja merupakan
salah satu faktor produksi yang akan mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat
pendapatan nasional baru dari segi kuantitas atau jumlah saja. Tenaga kerja
bersifat heterogen baik dilihat dari segi umur, kemampuan kerja, kesehatan,
pendidikan, jenis kelamin, keahlian dan sebagainya. Hanya penduduk yang berupa
tenaga kerja yang dapat dianggap sebagai faktor produksi. Tenaga kerja adalah
penduduk pada usia kerja yaitu antara 15 sampai 64 tahun. Berbicara tenaga
kerja tidak terlepas dari pengangguran.
Definisi ekonomi
tentang pengangguran tidak identik dengan tidak (mau) bekerja. Seseorang baru
dikatakan menganggur bila dia ingin bekerja dan telah berusaha mencari kerja,
namun tidak mendapatkannya. Terdapat jenis-jenis pengangguran, yaitu 1)
Pengangguran Friksional (Frictional Unemployment), 2) Pengangguran Struktural
(Strutural Unemployment), 3) Pengangguran Siklis (Cyclical Unemployment), 4)
Pengangguran Musiman (Seasonal Unemployment) dan 5) Pengangguran Teknologi
(Technology Unemployment). Jenis pengangguran berdasarkan cirinya : 1) Pengangguran
Terbuka, 2) Pengangguran Tersembunyi, 3) Pengangguran Bermusim, 4) Setengah
Menganggur. Beberapa kebijakan pemerintah dalam mengatasi masalah pengangguran,
yaitu tujuan bersifat ekonomi, menyediakan lowongan pekerjaan, meningkatkan
taraf kemakmuran masyarakat, memperbaiki pembagian pendapatan, tujuan bersifat
sosial dan politik, meningkatkan kemakmuran keluarga dan kestabilan keluarga,
menghindari masalah kejahatan, dan mewujudkan kestabilan politik.
DAFTAR PUSTAKA
Chandra, A., &
Glassburner, B. (1985). Teori dan Kebijaksanaan Ekonomi
Makro. Jakarta: LP3S.
Dornbusch, R., &
Fischer, S. (2008). Makroekonomi. Jakarta:
Erlangga.
Lipsey, R. G. (1993). Pengantar Makroekonomi. Jakarta: PT Gelora Aksara
Pratama.
Rahardja, P., &
Manurung, M. (2008). Pengantar Ilmu Ekonomi
(Mikroekonomi & Makroekonomi). Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Subandi. (2011). Ekonomi Pembangunan. Bandung: Alfabeta.
Sukirno, S. (2005). Makroekonomi Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Sukirno, S. (2006). Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Sumber : https://mutiaraelsa.wordpress.com/2015/03/28/tenaga-kerja-dan-pengangguran/
No comments:
Post a Comment